DZUN NUN SI ORANG MESIR DAN KISAH PERTAUBATANNYA
Mengenai pertaubatan Dzun Nun siorang Mesir dikisahkannya sebagai berikut : Suatu hari aku mendengar bahwa di suatu tempat berdiam seorang pertapa. Maka pergilah aku ke pertapaan itu. Sesampainya di sana kudapati si pertapa sedang bergantung pada sebatang pohon dan berseru kepada dirinya sendiri : “Wahai tubuh, bantulah aku dalam mentaati perintah Allah. Kalau tidak, akan ku biarkan engkau tergantung seperti ini sampai engkau mati kelaparan.” Menyaksikan hal itu aku tak dapat menahan tangis sehingga tangisku terdengar oleh si pertapa pengabdi Allah itu. Maka bertanyalah ia :
“Siapakah itu yang telah menaruh belas-kasihan kepada diriku yang tidak mempunyai malu dan banyak berbuat aniaya ini?.”
Aku menghampirinya dan mengucapkan salam kepadanya. Kemudian aku bertanya: “Mengapakah engkau berbuat seperti ini?” “Tubuhku ini telah menghalang-halangiku untuk mentaati perintah Allah,” jawabnya. “Tubuhku ini ingin bercengkerama dengan manusia-manusia lain.” Tadi aku mengira bahwa ia telah menumpahkan darah seorang Muslim atau melakukan dosa besar semacam itu.
Si pertapa melanjutkan : “Tidakkah engkau menyadari bahwa begitu engkau bergaul dengan manusia-manusia ramai, maka segala sesuatu dapat terjadi?”
“Engkau benar-benar seorang pertapa yang kukuh!.” Kataku kepadanya. “Maukah engkau menemui seorang pertapa yang lebih dari padaku?” tanyanya kepadaku. “Ya”, jawabku.
“Pergilah ke gunung yang berada disana itu. Di situlah engkau akan menemuinya”, si pertapa menjelaskan. Maka pergilah aku ke gunung yang ditunjukannya. Di sana ku jumpai seorang pemuda yang sedang duduk di dalam sebuah pertapaan. Sebuah kakinya telah terkatung putus dan dilemparkan keluar, cacing-cacing sedang menggerogotinya. Aku menghampirinya lalu mengucapkan salam, kemudian ku tanyakan perihal dirinya.
Si Pertapa berkisah kepadaku : “Suatu hari ketika aku sedang duduk di dalam pertapaan ini, seorang wanita kebetulan lewat di tempat ini. Hatiku bergetar menginginkannya dan jasmaniku mendorongku agar mengejarnya. Ketika sebuah kakiku telah melangkah ke luar dari ruangan pertapaan ini terdengarlah olehku sebuah seruan : “Setelah mengabdi dan mentaati Allah selama tiga puluh tahun, tidakkah engkau merasa malu untuk mengikuti syaithan dan mengejar seorang wanita lacur? Karena menyesal kupotonglah kaki yang telah kulangkahkan itu. Kini aku duduk menantikan apa yang akan terjadi menimpa diriku. Tetapi apakah yang telah mendorong dirimu untuk menemui orang berdosa seperti aku ini? “Jika engkau ingin menjumpai seorang hamba Allah yang sejati, pergilah ke puncak gunung ini.”.
Puncak gunung itu terlampau tinggi untuk kudaki. Oleh karena itu aku hanya dapat bertanya-tanya tentang dirinya.
Seseorang mengisahkan kepadaku :
“Memang ada seorang lelaki yang sudah sangat lama mengabdi kepada Allah di dalam pertapaan di puncak gunung itu. Pada suatu hari seseorang mengunjunginya dan berbantah-bantah dengannya. Orang itu berkata bahwa setiap manusia harus mencari makanannya sendiri sehari-hari. Si Pertapa kemudian bersumpah tidak akan memakan makanan yang telah diusahakan. Berhari-hari lamanya ia tidak makan sesuatu pun. Tetapi akhirnya Allah mengutus sekawanan lebah yang melayang-layang mengelilinginya kemudian memberikan madu kepadanya.”
Segala sesuatu yang telah kusaksikan dan segala kisah yang telah kudengar itu sangat menyentuh hatiku. Sadarlah aku bahwa barang siapa memasrahkan diri kepada Allah, niscaya Allah kan memeliharanya dan tidak akan menyia-nyiakan penderitaannya. Di dalam perjalanan menuruni gunung itu aku melihat seekor burung yang sedang bertengger di atas
pohon. Tubuhnya kecil dan setelah kuamati ternyata matanya buta. Aku lantas berkata dalam hati : “Dari manakah makhluk lemah yang tak berdaya ini memperoleh makanan dan minumannya?”.
Seketika itu juga si burung melompat turun. Dengan mematuk-matukan paruhnya, diacungkannya tanah dan tidak berapa lama kemudian terlihatlah olehku dua buah cawan. Yang sebuah dari emas dan penuh biji gandum, sedang lainnya dari perak dan penuh dengan air mawar. Setelah makan sepuasnya, burung itu meloncat kembali ke atas dahan sedang cawan-cawan tadi hilang kembali tertimbun tanah. Dzun Nun sangat heran menyaksikan keanehan tersebut. Sejak saat itulah ia mempercayakan jiwa raganya dan benar-benar bertaubat kepada Allah. Setelah beberapa lama berjalan, Dzun Nun dan para sahabatnya sampai di sebuah padang pasir. Di sana mereka menemukan sebuah guci berisi kepingan-kepingan emas dan batu permata dan di atas tutupnya terdapat sebuah papan yang bertuliskan nama Allah. Sahabat-sahabatnya membagi-bagi emas dan permata-permata tersebut di antara sesama mereka sedang Dzun Nun hanya meminta : “Berikanlah kepadaku papan yang bertuliskan nama Sahabatku itu!.”
Papan itu diterimanya, siang malam diciuminya. Berkat papan itu ia memperoleh kemajuan yang sedemikian pesatnya sehingga pada suatu malam ia bermimpi. Dalam mimpi itu ia mendengar suara yang berseru kepadanya : “Semua sahabat-sahabatmu lebih suka memilih emas dan permata karena benda-benda itu mahal harganya. Tetapi engkau telah memilih nama-Ku yang lebih berharga daripada emas dan permata. Oleh karena itu Aku bukakan untukmu pintu pengetahuan dan kebijaksanaan!.”
Setelah itu Dzun Nun kembali ke kota. Kisahnya berlanjut pula, sebagai berikut ini. Suatu hari aku berjalan-jalan sampai ke tepian sebuah sungai. Di situ ku lihat sebuah villa. Di sungai itu aku bersuci, setelah selesai, tanpa sengaja aku memandang loteng villa itu. Di atas balkon sedang bediri seorang dara jelita. Karen ingin mempertegasnya aku pun bertanya : “Upik, siapakah engkau ini?”. Si dara menjawab : “Dzun Nun, dari kejauhan ku kira engkau seorang gila, ketika agak dekat kukira engkau seorang terpelajar. Dan ketika sudah dekat ku kira engkau seorang mistikus. Tetapi kini jelas bagiku bahwa engkau bukan gila, bukan seorang terpelajar dan bukan pula seorang mistikus.”
Aku bertanya : “Mengapa engkau berkata demikian?.”
Si dara menjawab : “Seandainya engkau gila, niscaya engkau tidak bersuci. Seandainya engkau terpelajar niscaya engkau tidak memandang yang tak boleh dipandang. Dan seandainya engkau seorang mistikus pasti engkau tidak akan memandang sesuatu pun juga selain Allah.” Setelah berkata demikian dara itu pun hilang. Sadarlah aku bahwa ia bukan manusia biasa. Sesungguhnya ia telah diutus Allah untuk memberi peringatan kepada diriku. Api sesal membakar hatiku.
Maka aku teruskan pengembaraanku ke arah pantai. Sesampainya di pantai aku melihat orang-orang sedang naik ke atas sebuah kapal. Akupun berbuat seperti mereka. Beberapa lama berlalu, seorang saudagar yang menumpang kapal itu kehilangan permata miliknya. Satu persatu para penumpang digeledah. Akhirnya mereka menarik kesimpulan bahwa permata itu ada di tanganku. Berulangkali mereka menyiksaku dan memperlakuan diriku sedemikian hinanya, tetapi aku tetap membisu.
Akhirnya aku tak tahan lagi lalu berseru : “Wahai Sang Pencipta, sesungguhnya engkaulah Yang Maha Tahu!.” Seketika itu juga beribu-ribu ekor ikan mendongakkan kepala ke atas permukaan air dan mesing-masing membawa sebuah permata di mulutnya. Aku mengambilnya sebuah dan memberikannya kepada si saudagar. Menyaksikan keajaiban ini semua orang yang berada di atas kapal berlutut dan meminta maaf padanya. Karena peristiwa inilah aku dijuluki
Dzun Nun (“Manusia Ikan”). Pandanglah-jiwa-sebagai-pancuran
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......