MUSYAHADAH, MURAQABAH, MUKASYAFAH

[ *Ilmu Tauhid* ]
*Musyahadah, Muraqabah, dan Mukasyafah Membongkar Tipu Daya Jin, Setan, Iblis Penggagas Kebatinan dan Meluruskan Amal Tasawwuf Buta*

Biru yang kita pandang di dalam maharuang ini bukan langit, melainkan batas pandang. Di situlah letak alam jin atau oleh nonmuslim dikenal juga sebagai alam dewa-dewi atau nirwana. Kalau orang banyak mengejar ke situ, sama dengan masuk ke alam jin. Di alam jin itu, para jin bisa membentuk apa saja yang mereka mau untuk menipu manusia. Manusia kira masuk ke situ masuk ke Kosong, padahal itu masih kosong zat-asam; masih alam baharu; masih ber-zat. Sedangkan Kosong Zat-Mutlak itu alam Mahasuci; Kosong yang tidak ber-zat. Itulah alam Mahasuci.

Sekalian alam penuh-kosong; kosong Maharuang. Jadi, terang, gelap, kabut, semua itu sesuatu atau baharu. Orang tauhid bukan memandang baharunya, melainkan memandang qadimnya. Orang tauhid memandang Kosong yang tidak ber-zat. Itulah yang dipandang.

Jika kita hendak mengetahui hakikat alam, renungkanlah titik awal. Mana titik awal itu? Kosong Zat-Mutlak. Itulah awal titik. Siapa dapat merenungkan awal titik ini, dapatlah ia mengetahui isi dunia.

Tuhan itu Rahasia Ahadiyat atau Rahasia Laa ta`yin. Renungkan betul-betul awal titik itu. Kalau kesadaran merenungkan titik awal itu men-"jadi", akan kita rasakan tenggelam sekalian alam kembali tiada; dan kita rasakan juga tenggelamnya diri kita. Kalau sudah kita rasakan tenggelam semua, barulah timbul rasa isbat. Ini pun yang merasakan hanya sirr di dalam hati. Barulah kita paham tentang tawajjuh dan muraqabah [= berhadap]. Keduanya itu sama, hanya berlainan bahasa saja.

Batin Muhammad itu Rahasia pada kita. Jadi, Muhammad itu berhimpun pada Rahasia. Kita disuruh mengenal, tentu matilah kita dalam pengenalan itu. Siapa mengenal Tuhannya, maka binasalah dirinya. Maksud binasa di sini bukan hancur lebur atau hilang, melainkan tiada merasa ada diri. Dalam shalat pun kita disuruh mengenal.

Yang dinamai Rahasia, itulah Zat. Untuk dapat lebih sempurna lagi, perlu kita mengetahui dan mengenal betul-betul sampai paham jalan musyahadah yang ada pada diri kita ini. Yang nyata adanya pada diri kita ini dan nyata pada sekalian alam, yaitu Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya.

Lakukanlah musyahadah, yakni pandangan hati yang berkekalan dengan Allah. Karena yang empat macam ini ada pada diri kita dan ada pada sekalian alam.

Lakukanlah muraqabah, jangan berpaling kepada yang lain atau jangan berpaling pada sesuatu. Tidak terlepas dari yang kira intai.

Lalukanlah mukasyafah, sampai terbuka tirai kita dengan Tuhan.

Barulah kita mengetahui alam-alam yang penuh jin, setan, Iblis. Itu makhluk-makhluk penipu manusia. Bisa memperbuat macam-macam: membuat sidratul muntaha buatan, membuat surga-neraka buatan, dll. Semua yang ada di benak manusia diketahuinya dan mereka bisa membuat segala yang ada di pikiran manusia itu.

Sekali lagi, batas pandang berwarna biru yang kita lihat dari bumi, itu bukan nirwana, melainkan alam jin. Petunjuk-petunjuk dari alam jin inilah yang diterima oleh penggagas Hinduisme purba dan oleh Siddharta Gautama. Petunjuk-petunjuk lasut itu kemudian menyebar luas dan menjelma menjadi budaya-budaya kebatinan di segenap penjuru bumi.

Jadi, orang tauhid yang sudah dapat musyahadah, muraqabah,  dan mukasyafah tidak akan tertipu dengan permainan-permainan dari alam jin itu. Karena mendapat mukasyafah, 'terbuka tirai' kita dengan Tuhan, maka Tuhan buka dan Tuhan tunjukkan pada kita. Itulah maka kita bisa tahu. Yang sudah mendapat muraqabah, 'tidak terlepas intaian, tidak berpaling lagi kepada yang bukan Tuhan' tentu terbukalah juga tirai dengan Tuhan.

Dengan mukasyafah ini kita juga tahu bahwa lafal alif-lam-lam-ha itu hanya menunjukkan Nama. Nama menunjukkan adanya Zat. Adanya Tuhan itu bukan pada lafal alif-lam-lam-ha.

Kalau pada lafal alif-lam-lam-ha keyakinan seseorang, berarti ia bertuhankan lafal.

Sudah tahu lafal itu Nama-Nya. Nama-Nya itu bukan Tuhan. Kalau sudah paham tentang hakikat dan makrifat, segala apa pun yang kita kerjakan semua itu dari Allah kepada Allah dan kembali ke sumber pekerjaannya. Pekerjaan shalat, berzikir, dan lain-lain itu menunjukkan pekerjaan Yang Punya Rahasia. Simpulannya, pekerjaan Rahasia Allah.

Mengapa dikatakan pekerjaan Rahasia Tuhan?
Sebab terbitnya segala sesuatu dan lain-lain itu dari Allah kepada Allah. Kita telah mempelajari ilmu tauhid. Dari segi tauhid, yang kita lakukan: shalat, berzikir, dan lain-lain, semua itu menunjukkan Zat Allah yang bersifat Ta`sir [Kebesaran]. Sifat Ta`sir ini terdiri atas empat Sifat: Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat. Jangan disepelekan masalah tauhid.

Orang makrifat selalu berkekalan dengan Allah. Tetap dengan Allah. Dia tidak mengingat dirinya yang zahir maupun yang batin. Jelaslah, makrifat itu meraibkan yang batin, bukan meraibkan yang zahir.

Kalau batinnya tetap tertuju pada Allah, tentulah keadaanya yang zahir tidak ada yang mengendalikannya karena yang zahir itu dari yang batin. Maja lepaslah yang zahir itu akan dirinya yang batin--dikarenakan yang batin kekal dengan Allah. Itulah dikatakan fana.

Fana itu bukan memfana-fanakan diri atau merasa-rasakan diri tidak ada. Kekalkan saja batin dengan Allah. Itulah yang dikatakan fana fillah: tidak merasa ada zahir-batin; yang Ada Allah saja. Inilah juga rasa isbat.  Maka dalam ibadah, berzikir, berbicara, dan apa saja, jangan lupa: Nama dengan Yang Punya Nama tidak becerai.

Kita berkata, Yang Punya Kata Berkata.
Kita melihat, Yang Punya Lihat Melihat.
Kalau semua kembali kepada Zat-Nya: tentulah kita sudah kembali `adam [tiada].

Ingatlah, zikir makrifat itu dengan perasaan. Pada perasaan: sudah Allah saja ADA. Tidak pakai baca-baca lagi, juga tidak dengan hati. Dibaca dengan Rabbani atau dengan makrifat, yaitu dirasakan.

Untuk lebih jelas lagi, perlu diketahui jalan musyahadah itu ada empat:
musyahadah Af`al;
musyahadah Asma;
musyahadah Sifat;
musyahadah Zat.

Jalan yang empat ini, kembali kepada hakikat Diri. Bukankah Allah itu dikenal dengan Zat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, dan Af`al-Nya?! Keempat ini juga meliputi sekalian alam dan diri kita, yaitu tubuh, hati, nyawa, dan rahasia.

Hakikat diri insan:
zahirnya terdiri atas: tubuh-hati-nyawa-rahasia;
batinnya terdiri atas Zat-Sifat-Asma-Af`al.
Oleh sebab itu, berlakulah dua perkara zahir dan batin. Maka dikatakanlah oleh ahli makrifat:
Syariatun bila haqiqatun: atilatun;   'syariat tanpa hakikat: sia-sia';
Haqiqatun bila syariatun: bathilun;   'hakikat tanpa syariat: batal'.

Maka syariat dan hakikat tidak bisa becerai. Siapa bilang orang tauhid membunuh syariat? Hanya orang tasawuf buta yang berani meninggalkan syariat. Perkataan arif billah di atas itu sudah banyak orang ketahui, tetapi jalan cerita pengenalannya yang banyak orang tidak tahu, yaitu mengenai sebab syariat dan hakikat itu tidak bisa dipisahkan.


Adapun insan itu nama yang zahir;
Adapun Allah itu nama yang batin.

Nama yang zahir pada insan itu: tubuh-hati-nyawa-rahasia;
Nama yang batin pada Allah itu Zat Allah-Sifat Allah-Asma Allah-Af`al Allah.

Di sinilah baru kita dapat mengetahui bahwa huruf yang pertama dijadikan itu huruf ﻫ. Kemudian ﻫ menjadi ﺏ, kemudian ﺏ pecah menjadi sekalian alam. Dalam titik [.] sudah ada ا [alif]. Karena kuatnya tekanan ketuhanan, pecah titik, jadilah alif. [Nur Muhammad pecah, jadilah sekalian alam].

Di sinilah baru kita tahu, rupanya sifat yang zahir kenyataanya pada sifat napas. Kalau tidak ada napas tentu tidak dapat bergerak. Sifat napas kenyataannya pada sifat nyawa. Sifat nyawa kenyataannya pada Tuhan.

Janganlah berpegang pada napas atau pada nyawa. Berpeganglah pada Tuhan.

Tuhan tidak keluar-masuk, tidak naik-turun. Yang naik-turun itu napas, bukan Tuhan. Jangan dimain-mainkan napas itu! Masak napas keluar dijadikan Allah; napas masuk dijadikan Zat. Sebaiknya berpeganglah pada makrifatnya, yaitu pada Tuhan, bukan pada napas.

Selagi hidup napas kita siksa: ditarik-dikeluarkan, ditahan-tahan. Tidak boleh menyiksa napas begitu. Yang kita takuti, waktu sakaratul maut, nanti napas akan balik menyiksa kita.

Coba lihat kenyataannya, baru berumur 50 tahunan berjalan dekat saja sudah poso; susah bernapas. Umumnya orang yang suka memain-mainkan napas kalau sudah berumur 40 tahunan, penyakitnya itu tiada lain: pendek napas. Bagaimana kalau sudah kena alunan sakaratul maut? Mungkin nanti mulutnya menganga, lidah terjulur, mata melotot-lotot, badan gelisah kepanasan. Ini bukan mencela-menghina, sekadar mengingatkan karena sudah banyak terjadi. Jangan sampai Saudara-Saudaraku mengalami hal sedemikian. Pokoknya, jangan suka menyiksa napas. Kalau sudah berbalik napas yang menyiksa kita: susah. Kisah sehelai daun

PUSAKA MADINAH

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

Comments

📯POPULAR POST

ALLAH BUKAN NAMA DAN MAKNA

ADAB SALIK TERHADAP MURSYID

ALINSANU SIRRI, WA ANA SIRRUHU, WASIRRI SIFATI WASIFATI LAGHOIRIHI

MAULANA JALALUDDIN RUMI : LABEL GURU SUFI YANG TERMASYHUR DENGAN SYAIR-SYAIR

TUHAN TIDAK BERZAT BERSIFAT BERASMA DAN BERAF'AL

Kirim E-mail Anda Dapatkan Artikel Berlangganan Gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY POST MANTAP ||| postmantap16@gmail.com

🔱LINK TAUTAN ARTIKEL SPONSOR

🔁 FOLLOWERS