CAKRAWALA EMPAT PERJALANAN MENUJU TUHAN
Inilah gambaran dari jalan menuju akhirat, yakni melalui syari'at, thariqat dan
haqiqat. Melalui jalan ini seseorang akan mudah mengawasi ketakwaannya dan
menjauhi hawa nafsu. Tiga jalan ini secara bersama-sama menjadi sarana bagi
orang-orang beriman menuju akhirat tanpa boleh meninggalkan salah satu dari
tiga jalan ini.
Haqiqat tanpa syari'at menjadi batal, dan syari'at tanpa haqiqat menjadi kosong. Dapat
dimisalkan di sini, bahwa apabila ada orang memerintahkan sahabatnya mendirikan
shalat, maka ia akan menjawab: Mengapa harus shalat? Bukankah sejak zaman azali
dia sudah ditetapkan takdirnya? Apabila ia telah ditetapkan sebagai orang yang
beruntung, tentu ia akan masuk surga walaupun tidak shalat. Sebaliknya, apabila
ia telah ditetapkan sebagai orang yang celaka maka, ia akan masuk neraka,
walaupun mendirikan shalat.
Ini adalah contoh haqiqat tanpa syari'at.
Sedangkan syari'at tanpa haqiqat, adalah sifat orang yang beramal hanya untuk memperoleh surga. Ini adalah syari'at yang kosong, walaupun ia yakin. Bagi orang ini ada
atau tidak ada syari'at sama saja keadaannya, karena masuk surga itu adalah semata-mata anugerah Allah. Syari'at adalah peraturan Allah yang telah ditetapkan melalui wahyu, berupa perintah dan larangan. Thariqat adalah
pelaksanaan dari peraturan dan hukum Allah (syari'at). Haqiqat adalah menyelami
dan mendalami apa yang tersirat dan tersurat dalam syari'at, sebagai tugas menjalankan
firman Allah.
Mendalami syari'at sebagai peraturan dan hukum Allah menjadi kewajiban umat Islam
terutama yang berkaitan dengan ibadah mahdlah, ibadah yang berhubungan langsung
dengan Allah SWT. Seperti dalam firman: Iyyâka Na'budu wa Iyyâka Nasta'în yang
artinya: "Hanya kepada Engkau (Allah), aku beribadah, dan hanya kepada
engkau aku memohon pertolongan." (QS. Al-Fâtihah: 4-5).
Sedangkan yang dimaksud dengan menjaga haqiqat adalah usaha seorang hamba melepaskan
dirinya dari kekuatannya sendiri dengan kesadaran bahwa semua kemampuan dari
perbuatan yang ada padanya, hanya akan terlaksana dengan pertolongan Allah
semata.
Pada dasarnya kewajiban seorang mukmin adalah melaksanakan semua perintah Allah dan
meninggalkan larangan-Nya, dengan tidak memikirkan bahwa amal perbuatannya
itulah yang akan menyelamatkannya dari siksaan neraka, atau menjadikannya masuk
surga. Atau ia beranggapan tanpa amal ia akan masuk neraka, atau beranggapan
hanya dengan amal ia akan masuk surga.
Sebenarnya ia harus berpikir dan meyakini bahwa semua amalannya hanya semata-mata untuk
melaksanakan perintah Allah dan mendapatkan keridhaan-Nya. Seperti firman
Allah: "Fa'budillâh Mukhlishan Lahuddîn".
Apabila Allah Ta'ala menganugerahkan pahala atas amal perbuatannya hanyalah merupakan karunia Allah belaka. Demikian juga apabila menyiksanya, maka itu semua merupakan
keadilan Allah jua, yang tidak perlu dipertanyakan pertanggungjawabannya.
Hasan Basri mengatakan bahwasannya ilmu haqiqat tidak memikirkan adanya pahala atau
tidak dari suatu amal perbuatan. Akan tetapi tidak berarti meninggalkan amal
perbuatan atau tidak beramal.
Sayyidina Ali RA, mengatakan: Barangsiapa beranggapan, tanpa adanya perbuatan yang
sungguh-sungguh, ia akan masuk surga, maka itu adalah hayalan, sedangkan orang
yang beranggapan bahwa dengan amal yang sungguh-sungguh dan bersusah payah ia
akan masuk surga, maka hal itu sangat sia-sia. Orang pertama adalah mutamanni
dan orang yang kedua adalah muta'anni.
Pernah dikisahkan bahwa ada seorang laki-laki Yahudi dari Bani Israil, ia telah
beribadah selama tujuh puluh tahun. Pada suatu saat ia memohon kepada Allah
agar dia ditetapkan berada bersama-sama para malaikat. Maka Allah SWT, mengutus
malaikat untuk menyampaikan kepadanya bahwa dengan ibadahnya yang sekian lama
itu, tidak pantas baginya untuk masuk surga. Laki-laki ini mengatakan pula
kepada malaikat itu setelah mendengar berita dari Allah SWT. "Kami diciptakan Allah di dunia ini hanya untuk beribadah kepada Allah, maka sepantasnyalah kami berkewajiban beribadah (tunduk) kepada-Nya."
Tatkala malaikat itu kembali melaporkan apa yang didengarnya dari hamba Allah tersebut,
ia berkata: "Ya Allah, Engkau lebih mengetahui apa yang diucapkan oleh
laki-laki tersebut." Allah SWT pun berfirman. "Jika ia tidak berpaling dan tunduk beribadah kepada-Ku, maka dengan karunia dan kasih
sayang-Ku, Aku tidak akan meninggalkannya. Saksikanlah olehmu, sesungguhnya Aku
telah mengampuninya".
Syari'at
Ibarat
bahtera itulah syari'at
Ibarat
samudera itulah thariqat
Ibarat
mutiara itulah haqiqat.
Ungkapan dari syair di atas menjelaskan kedudukan tiga jalan menuju akhirat. Syari'at
ibarat kapal, yakni sebagai instrumen mencapai tujuan. Thariqat ibarat lautan,
yakni sebagai wadah yang mengantar ke tempat tujuan. Haqiqat ibarat mutiara
yang sangat berharga dan banyak manfaatnya.
Untuk
memperoleh mutiara haqiqat, manusia harus mengarungi lautan dengan ombak dan
gelombang yang dahsyat. Sedangkan untuk mengarungi lautan itu, tidak ada jalan
lain kecuali dengan kapal.
Sebagian Ulama menerangkan tiga jalan ke akhirat itu ibarat buah pala atau buah kelapa.
Syari'at ibarat kulitnya, thariqat isinya dan haqiqat ibarat minyaknya.
Pengertiannya ialah, minyak tidak akan diperoleh tanpa memeras isinya, dan isi
tidak akan diperoleh sebelum menguliti kulit atau sabutnya.
Agama ditegakkan di atas syari'at, karena syari'at adalah peraturan dan undang-undang
yang bersumber kepada wahyu Allah. Perintah dan larangannya jelas dan
dijalankan untuk kesejahteraan seluruh manusia. Menurut Syaikh al-Hayyiny,
syari'at dijalankan berdasarkan taklif (beban dan tanggungjawab) yang dipikul
kepada orang yang telah mampu memikul beban atau tanggungjawab (mukallaf).
Haqiqat adalah apa yang telah diperoleh sebagai ma'rifat. Syari'at dikukuhkan
oleh haqiqat dibuktikan oleh syari'at. Adapun syari'at adalah bukti pengabdian
manusia yang diwujudkan berupa ibadah, melalui wahyu yang disampaikan kepada
para Rasul. Haqiqat itu sendiri merupakan bukti dari penghambaan (ibadah)
manusia terhadap Allah SWT, dengan tunduk kepada hukum syari' at tanpa
perantaraan apapun.
Thariqat
Adalah thariqat itu suatu sikap hidup
Orang yang teguh pada pegangan yang genap
Ia waspada dalam ibadah yang mantap
Bersikap
wara' berperilaku dan sikap
Dengan
riyadhah itulah jalan yang tetap.
Para Ulama berpendapat thariqat adalah jalan yang ditempuh dan sangat waspada dan
berhati-hati ketika beramal ibadah. Seseorang tidak begitu saja melakukan
rukhshah (ibadah yang meringankan) dalam menjalankan macam-macam ibadah.
Walaupun ada kebolehan melakukan rukhshah, akan tetapi sangat berhati-hati
melaksanakan amal ibadah. Diantara sikap hati-hati itu adalah bersifat wara'.
Menurut al-Qusyairy, wara' artinya berusaha untuk tidak melakukan hal-hal yang bersifat
syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya). Bersikap wara' adalah suatu
pilihan bagi ahli thariqat.
Imam al-Ghazaly membagi sifat wara' dalam empat tingkatan. Tingkat yang terendah
adalah wara'ul 'adl (wara' orang yang adil) yakni meninggalkan suatu perbuatan
sesuai dengan ajaran fiqh, seperti makan riba atau perjanjian-perjanjian yang
meragukan dan amal yang dianggap bertentangan atau batal.
Tingkat agak ke atas adalah wara'ush shâlihîn (wara' orang-orang saleh). Yakni
menjauhkan diri dari semua perkara subhat, seperti makanan yang tidak jelas
asal usulnya, atau ragu atas suatu yang ada di tangan atau sedang dikerjakan,
atau disimpan.
Tingkat yang atasnya lagi, adalah wara'ul muttaqqîn (wara' orang-orang yang takwa).
Yakni meninggalkan perbuatan yang sebenarnya dibolehkan (mubah), karena kuatir
kalau-kalau membahayakan, atau mengganggu keimanan, seperti bergaul dengan
orang-orang yang membahayakan, orang-orang yang suka bermaksiat, memakai
pakaian yang serupa dengan orang- orang yang berakhlak jelek, menyimpan
barang-barang berbahaya atau diragukan kebaikannya. Contoh, sahabat Umar bin
Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal
karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Tingkat yang tertinggi adalah, wara'ush shiddiqqîn (wara' orang-orang yang jujur).
Yakni menghindari sesuatu walaupun tidak ada bahaya sedikitpun, umpamanya
hal-hal yang mubah yang terasa syubhat.
Kisah-kisah
berikut ini menunjukkan sifat-sifat orang yang wara'.
Pada
masa Imam Ahmad bin Hambal, hiduplah seorang sufi bernama Bisyir al-Hafy. Ia
mempunyai saudara perempuan yang bekerja memintal benang tenun. Biasanya
pekerjaan itu dikerjakan di loteng rumahnya. Ia bertanya kepada Imam Ahmad,
"Pada suatu malam ketika ia sedang memintal benang, cahaya obor lampu
orang Thahiriyah (mungkin tetangga) masuk memancar ke loteng kami. Apakah kami
boleh memanfaatkan cahaya lampu obor tersebut untuk menyelesaikan pekerjaan
kami?" Imam Ahmad menjawab "Sungguh dari dalam rumahmu telah ada
cahaya orang yang sangat wara', maka janganlah engkau memintal benang dengan
memanfaatkan cahaya obor itu".
Abu
Hurairah mengatakan: "Pada suatu hari seorang saudaraku datang
mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk
seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu, saya ingin
membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga,
saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari
tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk
menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat
puluh tahun lamanya".
Dikisahkan
juga bahwa ada seorang laki-laki mengontrak sebuah rumah. Ia ingin menghiasi
ruangan rumah itu, lalu menuliskan khat-khat riq'i pada salah satu dindingnya.
Ia berusaha menghilangkan debu-debu pada dinding rumah kontrakan itu. Karena ia
merasa bahwa perbuatan itu baik dan tidak ada salahnya. Ketika ia sedang
membersihkan debu-debu pada dinding rumah itu, didengarnya suara, "Hai
orang yang menganggap remeh pada debu engkau, akan mengalami perhitungan amal
yang sangat lama".
Imam
Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur
Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan
dua buah bejana lalu ia berkata: "Ambillah salah satu, mana yang jadi
milikmu". Imam Ahmad berkata, "Saya sendiri ragu, mana dari dua
bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang
tebusannya. Saya rela semua untukmu". Tukang sayur itu serta merta
menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: "Inilah
milikmu". Imam Ahmad berkata, "Sesungguhnya aku hanya menguji
kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi," sambil berjalan
meninggalkan tukang sayur itu.
Diriwayatkan
bahwasannya Ibnu al-Mubarak pulang pergi dari Marwan ke Syam untuk
mengembalikan setangkai pena, yang belum sempat dikembalikan kepada pemiliknya.
Hasan
al-Bashry pernah menanyakan kepada seorang putera sahabat Ali bin Abi Thalib,
ketika itu sedang bersandar di Ka'bah sambil memberi pelajaran. Hasan al-Bashry
bertanya: "Apakah yang membuat agama menjadi kuat?" Dijawabnya:
"yang menguatkan agama adalah sifat wara'". "Apa yang merusak
agama?" "yang merusak agama adalah tamak". Jawaban itu
mengagumkan Hasan al-Basry, lalu ia berkata "Dengan sifat wara' yang
ikhlas lebih baik dari seribu kali shalat dan puasa".
Itulah
beberapa kisah yang menghiasi akhlak para sufy masa lampau. Sifat yang
mengagumkan yang melekat dalam hidup mereka. Demikian juga sifat mulia para
sahabat tabi'in dan tabi'it-tabi'in.
Kata
wa-azimatun, menurut lughat, artinya cita-cita yang kuat. Maksudnya penuh
kesungguhan dan sabar menghadapi bermacam-macam masalah hidup, akan tetapi kuat
menghadapinya dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Demikian juga melatih diri
dengan riyadlah yang dapat memperkuat ibadah dan melakukan ketaatan. Umpamanya
riyadlah mengendalikan keinginan yang mubah, seperti puasa makan, minum, tidur,
menahan lapar seperti puasa, sunnat, atau meninggalkan hal-hal yang kurang
berguna bagi kemantapan dan konsentrasi jiwa kaum sufi.
Nabi
SAW bersabda: "Cukurlah kiranya bagi manusia beberapa suapan untuk
menegakkan tulang punggungnya. Apabila ingin lebih dari itu, hendaklah ia
membagi perutnya; sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga
lagi untuk bernafas".
Dalam
hadits lain Nabi SAW bersabda: "Bukankah manusia itu tertelungkup dalam
neraka, tidak lain karena buah omongan lisannya. Sedangkan usia manusia itu
adalah modal pokok perdagangannya. Apabila disia-siakan dengan makhluk
perbuatan yang tidak berguna, maka sungguh ia telah merusaknya dengan
kesia-siaan".
Oleh
karena itu mengamalkan ilmu thariqat sama dengan menghindari segala macam
perbuatan mubah, seperti telah dicontohkan di atas. Itulah jalan suci akan
mengantarkan manusia kepada ketaatan dan kebahagiaan.
Haqiqat
Haqiqat
adalah akhir perjalanan mencapai tujuan
Menyaksikan
cahaya nan gemerlapan
Dari
ma'rifatullah yang penuh harapan
Untuk
menempuh jalan menuju akhirat haqiqat adalah tonggak terakhir. Dalam haqiqat
itulah manusia yang mencari dapat menemukan ma'rifatullâh. Ia menemukan hakikat
yang tajalli dari kebesaran Allah Penguasa langit dan bumi.
Menurut
Imam al-Ghazaly, tajalli adalah rahasia Allah berupa cahaya yang mampu membuka
seluruh rahasia dan ilmu. Tajalli akan membuka rahasia yang tidak dapat
dipandang oleh mata kepala. Mata hati manusia menjadi terang, sehingga dapat
memandang dengan jelas semua yang tertutup rapat dari penglihatan lahiriah
manusia.
Al-Qusyairi
membedakan antara syari'at dan haqiqat sebagai berikut: Haqiqat adalah penyaksian
manusia tentang rahasia-rahasia ketuhanan dengan mata hatinya. Syari'at adalah
kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba kepada Al-Khaliq.
Syari'at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah lahiriyah antara manusia dengan
Allah SWT .
Sudah
dijelaskan sebelumnya bahwa, perumpamaan syari'at adalah ibarat kepala,
thariqat ibarat lautan, dan haqiqat ibarat mutiara.
Seperti
pada bunyi syair, "Barangsiapa yang ingin mendapatkan mutiara di dalam
lautan, maka ia harus mengarungi lautan dengan menumpang kapal (ilmu syari'at),
kemudian ia harus pula menyelam untuk mendapatkan perbendaharaan yang berada di
kedalaman laut, yakni bernama mutiara (ilmu haqiqat)".
Para
penuntut ilmu tasawuf tidak akan mencapai kehidupan yang hakiki, kecuali telah
menempuh tingkatan hidup ruhani yang tiga tersebut. Menuju kesempurnaan hidup
ruhani dan jasmani yang hakiki menuju hidup akhirat yang sempurna, tiga jalan
itu hendaklah ditempuh bersama-sama dan bertahap. Apabila tahap-tahap itu tidak
ditempuh maka penuntut tasawuf atau mereka yang berminat mencari hidup ruhani
yang tentram, tidak akan mendapatkan mutiara yang sangat mahal harganya itu.
Wajib
Bersyari'at
Thariqat
dan haqiqat bergantung kepada syari'at. Dua tahapan itu tidak akan berhasil
ditempuh oleh para penuntut, kecuali melalui syari'at.
Dasar
pokok ilmu syari'at adalah wahyu Allah yang tertulis jelas dalam Al-Qur'an dan
Sunnah Nabi Muhammad SAW. Sebab ibadah mahdlah dan ghairu mahdlah serta ibadah
muamalah tercantum dengan jelas dalam ilmu syari'at.
Siapa
pun tidak boleh menganggap dirinya terlepas dari syari'at, walaupun ia ulama
sufi yang besar dan piawai, atau wali sekalipun. Orang yang menganggap dirinya
tidak memerlukan syari'at untuk mencapai thariqat sangat tersesat dan
menyesatkan.
Karena
syari'at itu seluruhnya bermuatan ibadah dan muamalah, maka menjadi satu paduan
dengan thariqat dan haqiqat. Ibadah seperti itu tidak gugur kewajibannya
walaupun seseorang telah mencapai tingkat wali. Bahkan ibadah syari'atnya wajib
melebihi tingkat ibadah manusia biasa. Umpamanya mutu ibadah seorang waliyullah
melebihi mutu ibadah orang-orang awam. Sebagaimana Rasulullah SAW, ketika
mendirikan shalat dengan penuh kekhusyuan dan begitu lama berdiri, ruku' dan
sujudnya, sehingga dua kakinya menjadi membengkak, karena dikerjakan dengan
penuh kecintaan dan ketulusan.
Ketika
Nabi SAW ditanya berkaitan dengan ibadahnya yang begitu hebat dan
sungguh-sungguh, beliau menjawab: "Mengapa saya tidak menjadi hamba yang
bersyukur?" Karena ibadah itu termasuk salah satu cara untuk mensyukuri nikmat
Allah dan semua anugerah-Nya. Maka para shufiyah atau waliyullah sekalipun
tetap berkewajiban melaksanakan ibadah syari'at yang ditaklifkan kepada setiap
muslimin dan muslimat. Oleh karena itu wajib bagi penuntut kehidupan akhirat
dan para penuntut ilmu-ilmu Islam secara intensif mempelajari ilmu syari'at.
Sebab semua ilmu yang berkaitan erat dengan kehidupan dunia dan akhirat,
bergantung erat kepada ilmu syari'at. Ilmu tasawuf dengan pendekatan kebatinan
(ruhaniyah) tetap bergantung erat dengan syari'at. Tanpa syari'at semua ilmu
dan keyakinan ruhaniyah tidak ada artinya.
Hati
para shufiyah akan cemerlang sinarnya dalam menempuh kehidupan ruhaniyah yang
tinggi, hanya akan diperoleh dengan ilmu syari'at. Demikian juga kemaksiatan
batin dan pencegahannya sudah tercantum dari teladan Nabi SAW, semuanya
tercantum dalam ilmu syari'at.
Ilmu
tasawuf, adalah bahagian dari akhlak mahmudah, hanya akan diperoleh dari uswah
hasanah-nya Nabi Muhammad SAW. Cahaya yang bersinar dari kehidupan Nabi SAW
adalah pokok dasar bagi pengembangan ilmu tasawuf atau dasar pribadi bagi para
penuntut ilmu tasawuf. Menurut tuntunan Nabi SAW, hati adalah ukuran pertama
penuntut ilmu tasawuf. Dengan kesucian hati dan ketulusannya melahirkan akhlak
mahmudah dan mencegah akhlak mazmumah, seperti yang diajarkan dalam sunnah Nabi
SAW, sebagian dari ilmu syari'at. Dengan pengertian lain, hati manusia shufiyah
itu akan ditempati oleh thariqat yang berdasarkan syari'at.
Ma'rifatullah
Para
ulama tasawuf dan kaum shufiyah menempuh beberapa cara untuk mecapai tingkat
tertinggi dalam shufiyah, atau ma'rifatullah. Untuk mencapai ma'rifatullah ini
setiap penuntut shufiyah menempuh jalan yang tidak sama. Ma'rifatullah adalah
tingkat telah mencapai thariqat al-haqiqah.
Akan
tetapi tidak berarti thariqat menuju ma'rifatullah itu harus secara khusyusiah,
lalu menempatkan diri hanya dalam ibadah batiniyah belaka. Akan tetapi untuk
mencapai tingkat thariqat ma'rifatullah itu, para penuntut dapat juga mencapai
melalui berguru langsung dengan para syaikh yang mursyid.
Para
syaikh yang mursyid, biasanya suka memberi pelajaran dan pendidikan kepada
masyarakat untuk memberi petunjuk kaifiyat ibadah dan tauhid Uluhiyah yang
bersih dan uswah hasanah Nabi SAW.
Imam
al-Ghazaly berkata: "Barangsiapa berilmu dan beramal serta mengajarkan
ilmunya, maka ia termasuk orang yang mendapat predikat orang mulla di kerajaan
langit. Ia telah berma'rifat kepada Allah. Ia adalah ibarat matahari yang
menyinari dirinya sendiri, atau laksana minyak misik yang harum yang
menyebarkan keharuman disekitarnya, sedangkan ia sendiri berada dalam
keharuman".
Ketika
seorang guru (da'i) sedang asyik mengajarkan ia berada dalam suasana yang agung
dan suci. Oleh karena itu seorang da'i atau guru yang sedang mengajar Al Islam,
hendaklah selalu menjaga kesucian dan adab-adabnya. Ada pula yang menempuh
jalan zikrullah dengan mewiridkan zikir-zikir yang ma'tsur atau amalan yang
bernilai ibadah, seperti membaca Al-Qur'an, bertahmid, tasbih dan tahlil. Cara
ini dijalankan oleh penuntut ilmu mutajarridah (konsentrasi diri untuk
semata-mata beribadah), termasuk jalan yang ditempuh oleh orang-orang saleh.
Cara
lain lagi yang ditempuh ialah dengan menghidmatkan diri kepada ulama Fiqh, atau
ulama tasawuf atau ulama Islam umumnya. Cara berguru, belajar dan mengajar
seperti ini sangat penting dan lebih utama dari shalat sunnat. Karena perbuatan
atau amal seperti itu termasuk maslahah mursalah (kepentingan umum), karena
juga bernilai ibadah.
Sayyid
Abdul Qadir Jailany RA, berkata: "Saya tidak akan mencapai ma'rifatullah
dengan hanya qiyamullail, atau berpuasa sepanjang hari. Akan tetapi sampainya
saya kepada ma'rifatullah, adalah juga dengan amalan maslahah mursalah, seperti
bermurah hati dan menyantuni semua orang, tasamuh dan tawadlu'. Ada juga yang
beribadah untuk membantu dan menggembirakan orang lain. Termasuk berusaha
mencari nafkah, seperti mencari kayu bakar di hutan, lalu dijual dan hasilnya
disedekahkan bagi kepentingan umum. Cara-cara seperti ini merupakan ibadah,
selain banyak manfaatnya, juga akan mencapai ma'rifatullah karena akan
memperoleh do'anya masyarakat umum dan kaum dhu'afa". PEMIKIRAN JALALUDIN RUMI
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......