PENJELASAN ULAMA ULAMA SUFI TENTANG WAHDATUL WUJUD
Imam Abdul Ghani An-Nablusi r.a. (1143 H) berkata dalam kitabnya Idhoul Maqsud, min ma'na wihdatil-wujud :
"Sesungguhnya, yang dimaksud Wahdatul-wujud bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan perkataan para ulama' Islam, bahkan maksud sebenarnya dari Wahdatul-wujud, pada hakikatnya disepakati oleh seluruh orang-orang khawas dan awam. Ia juga sesuatu yang perlu diketahui oleh setiap muslim, dan tidak boleh diingkari oleh setiap orang yang beriman. Tak dapat digambarkan bahwa, ada orang yang berakal bisa mengingkari Wahdatul-wujud dengan makna ini.
"Sesungguhnya, seluruh alam ini, walaupun berbeda jenis, sifat, bentuk dan rupanya, sebenarnya wujud dari ketiadaannya ('adam) dengan ke-wujud-an Allah s.w.t., bukan dengan diri mereka sendiri. Bahkan, seluruh makhluk yang wujud, terus terpelihara wujudnya dengan ke-wujud-an Allah s.w.t., bukan dengan diri mereka sendiri."
Imam Mustofa Al-Bakri berkata dalam kitab beliau Al-Maurid Al-Azb : "(Wahdatul-wujud ialah:) dengan wujud Allah s.w.t. itulah, seluruh yang wujud terus wujud. Dengan sentiasa menyaksikanNyalah, ahli syuhud terus meningkat. Bahwasanya Dialah yang mendirikan langit dan bumi, sedangkan seluruh makhluk berdiri denganNya (dengan kekuasaanNya) secara hakikinya."
Jelaslah bahwasanya, Wahdatul-wujud di sisi kaum sufi dan arif biLlah, merupakan suatu penghayatan dan penyaksian terhadap ke-wujud-an Allah s.w.t. yang wajibul-wujud (wajib wujudNya), dan seluruh makhluk yang wujud, tidak akan wujud kecuali denganNya (izinNya).
Allah lah yang menciptakan segala makhluk dari tiada, ke-wujud-an makhluk yang mana mereka wujud dengan hal itu, tidak datang dari diri mereka sendiri, pada hakikatnya merupakan dari ke-wujud-an Allah s.w.t. jua. Penyaksian hati terhadap hal demikianlah yang dikenal dengan Wahdatul-wujud atau wahdatus-syuhud.
Seluruh para sufi yang kamil memahami Wahdatul-wujud dengan makna wahdatus-syuhud, bukan dengan makna yang disalahpahami oleh orang-orang yang sesat seperti hulul dan ittihad, yang diingkari pula oleh orang-orang yang bodoh dengan makna yang sebenarnya Wahdatul-wujud ini, atas seluruh kaum sufi.
Syekh Ahmad Farid Al-Mazidi dalam muqoddimah Anwar An-Nabi menegaskan : "Maknanya (makna wahdatul-wujud): Bahwasanya, wujud pada hakikatnya satu saja, yaitu bagi Allah s.w.t. semata-mata dan tiada sekutu denganNya dalam hakikat wujud (qadim) tersebut. Maka, Dialah yang wujud secara mutlak (wajibul-wujud). Adapun ke-wujud-an seluruh makhluk adalah karena bersandar kepadaNya (kepada kekuasaanNya) dan kelangsungan ke-wujud-an makhluk tersebut karena pemeliharaanNya…Maka, ke-wujud-an makhluk itu bersandarkan pada ke-wujud-an yang hanya milik Allah s.w.t., bukan ke-wujud-an lain, karena tiada yang wujud dengan sendirinya (qiyamuhu binafsihi) melainkan Allah s.w.t. Sesungguhnya, wujud makhluk bukan dari dzat mereka sendiri, dan tidak dapat digambarkan bahwa seluruh makhluk berdiri dengan diri mereka sendiri…"
Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali r.a. sendiri berbicara tentang maksud wahdatul-wujud ini walaupun tanpa menggunakan lafal tersebut, takkala mensyarahkan perkataan Labid dalam hadits dengan berkata dalam kitab (Al-Ihya' kitabu At-Tauhid) : "Yaitu, setiap makhluk tidak berdiri dengan dirinya sendiri. Ia berdiri dengan lainnya (yaitu berdiri dengan kekuasaan Allah s.w.t.). Ia (makhluk) dari sudut pandang dirinya sendiri adalah batil. Karena, hakikatnya (hakikat makhluk) itu, dengan selainnya (yaitu dengan hakikat Allah s.w.t.),bukan dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, tiada yang hak (benar) pada hakikatnya kecuali Allah s.w.t. yang Maha Hidup lagi Maha Mengatur, yang tiada menyerupai sesuatu. Dialah yang berdiri dengan dzatNya sendiri, sedangkan selain dariNya, berdiri dengan kekuasaanNya. Maka, Dialah Al-Haq dan selain daripadaNya adalah batil (pada hakikatnya)."
Imam Al-Ghazali r.a. berkata lagi tentang penyaksian wahdatul-wujud dalam pandangan para sufi (Al-Ihya' kitabu As-Syauq) : "Barang siapa yang tajam pandangan mata hatinya, maka keadaannya akan menjadi seimbang, di mana dia tidak lagi melihat selain Allah s.w.t. Dia tidak lagi mengenal selain Allah s.w.t. (tidak terfokus kepada yang lain - fana'). Maka, ketika dia mengetahui (bukan dengan pengetahuan akal semata-mata, tapi dengan penghayatan) bahwa tiada yang wujud kecuali Allah s.w.t.. (Dia mengetahui) perbuatan dirinya merupakan kesan (atsar) dari kekuasanNya, yang wujud dariNya. Maka, tiada wujud bagi perbuatan-perbuatannya kalau tanpaNya. Sesungguhnya wujud itu milik Allah s.w.t. semata-mata, yang denganNya lah, semua makhluk itu wujud. Barang siapa yang dalam keadaan ini, tidak akan melihat satupun perbuatan, melainkan dia melihat Penciptanya yang hakiki (yaitu Allah s.w.t.)…" .
Seseorang akan lenyap (fana’) dalam menyaksikan keagungan ke-wujud-an Allah s.w.t. sehingga tidak lagi menyaksikan ke-wujud-an diri sendiri dan ke-wujud-an sekalian makhluk, dalam penyaksian terhadap ke-wujud-an Allah s.w.t. tersebut.
Demikianlah musyahadah para shiddiiqin yang dinamakan sebagai fana' wal baqa dalam tauhid. Inilah pemahaman para penghulu sufi dan ahli tasawwuf yang benar, berkenaan dengan wahdatul-wujud. Siapakah yang merasa dirinya lebih berilmu dari Hujjatul-Islam Imam Al-Ghazali r.a. takkala berani menyesatkan kaum sufi hanya karena tidak mampu memahami maknanya dengan benar?. hehehehehe
#Catatan bagi orang awam dan para pemikir/penulis yang kering dan dangkal tanpa SULUK
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api. Bara api tentulah panas dan tentu amatlah sulit mempertahankan genggaman tersebut tanpa membuat tangan melepuh.
Ath Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.
Sedangkan Al Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
Itulah gambaran bagi orang-orang yang konsisten dengan ajaran Islam secara kafah saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul , begitu sulitnya dan begitu beratnya.
Acapkali bagi masyarakat awam, orang-orang yang memegang teguh terhadap ajaran ajaran Islam sejati adalah orang-orang yang fanatik. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Bahkan parahnya sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam.
Melawan arus, dimana kita mencoba menjadi orang baik disaat menjadi salah adalah sesuatu yang wajar, tentu mendapat konsekuen yang tidak mengenakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demikianlah resikonya.
Namun nantikan balasannya di sisi Allah SWT yang luar biasa andai mau bersabar.
Ingatlah janji Allah SWT,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Sebagaimana disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Al Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya. Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu. Inilah masa dimana orang-orang yang berpegang teguh dalam Islam bagai memegang bara api.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Baca Juga : Golongan-sufi-yang-menetapkan-wahdatul
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......