MAULANA JALALUDDIN RUMI TASAWUF CINTA : MEMINDAHKAN MANUSIA DARI BAYANGAN HAKIKAT KEDALAM BAYANGAN TUHAN (4)
Rûmî tampaknya tidak pernah secara eksplisit berbicara tentang maqâm dan ahwâl. Rûmî hanya berbicara tentang pengalaman pengalaman rohani yang dialami oleh seseorang secara detail. Seperti pencapaian sikap-sikap serta kondisi-kondisi mental tertentu. Hal ini sering dilukiskan Rûmî dalam beberapa syairnya: Hanya apabila manusia kehilangan wujud lahiriahnya seperti musim dingin, baru ada harapan untuk suatu musim semi baru yang berkembang dalam dirinya (Mathnawî, V, 552). Lakukanlah perjalanan diri ke Diri, oh kawan, sehingga bumi menjadi tambang emas! (Dîwân, 121117)
Aku telah menjadi tanpa rasa, aku telah terjatuh ke dalam peniadaan diri-dalam peniadaan diri mutlak, betapa senagnya aku bersama Diri! (Dîwân, 17689)
Sifat-sifat-Nya telah meniadakan sifat-sifatku: Dia memberiku kesucian dan sifat-sifat (Dîwân, 8484)
Syair-syair di atas secara implisit banyak bercerita kepada kita bagaimana pengharapan seorang manusia untuk “terbang” menuju keDiri-an yang agung. Batas-batas imanensi dan transendensi sudah terkuak, yang tampak hanyalah sebuah persemayaman agung antara “aku” dan “Aku”. Ketika keduanya sudah menjadi “kami” maka hal itu adalah sebuah pertemuan yang membahagiakan yang terjadi antara seorang pecinta dengan yang dicintainya.
Kehadiran cinta pada diri seorang sufi akan mampu menyingkap realitas semua yang selama ini menyelubungi jiwa manusia. Cinta mampu menembus The Veil of Ignorance dan menemukan bentuk aslinya dalam penyatuan dengan yang terkasih pada saatnya nanti. Cinta menjadi pusat ekstase mistik yang harus dilalui oleh tiap-tiap manusia untuk dapat merasakan kebersatuan dengan sang Ilahi.
Semua perjalanan mistik yang dilakukan oleh para sufi pasti akan mengakhiri perjalanannya pada sebuah muara keabadian, yaitu bertemunya diri dengan Tuhan-Nya. Begitu juga Rûmî, titik kulminasi perjalananya akan diakhiri dengan melepaskan segala bentuk kemanusian dan kedirian untuk ber”jalan” bersama dengan Tuhan dan meneladani sifat-sifat-Nya.
Catatan Akhir
Walaupun banyak mengalami kritik dan hujatan, tasawuf merupakan salah satu kekayaan intelektual yang dimiliki oleh tradisi Filsafat Islam. Polemik yang terjadi di dalamnya bukanlah menjadi satu alasan untuk menegasikan keberadaan tasawuf. Sebagai sebuah disiplin ilmu, tasawuf telah mampu memberikan kontribusi aktif pada pergerakan nalar umat Islam.
Persoalan yang sering muncul dalam tubuh tasawuf adalah adanya “keharusan” asketis dalam rangka pengamalan menuju jalan pencerahan. Banyaknya maqâmât dan ah}wâl yang ada pada tradsisi sufi lambat laun menjadi sebuah mitos pencapaian bagi kalangan-kalangan yang mendambakan ketenangan jiwa. Pada titik ekstremnya mereka akhirnya menggantungkan ketenangan spiritual dengan mengasingkan diri dari kehidupan duniawiah dan menjalani kehidupan yang antisosial.
Pada fase inilah, harus ada upaya demitologisasi terhadap maqâmât dan ahwâl guna lebih menggeser citra tasawuf dari dunia esoteris menuju realitas yang eksoteris. Hal ini adalah sebuah usaha untuk memahami dunia dan realitas sekitarnya secara sosiologis sebagai cara (tawassul) untuk mendapatkan nilai-nilai transenden pertemuan dengan Tuhannya.
Begitu juga dalam tasawuf Rûmî—seperti yang tersebut di atas— kita dapat melihat bahwa ajaran tasawufnya kebanyakan tidak bersentuhan dengan keadaan dan sosialitas sekitarnya, sehingga dalam beberapa terma yang dipakai Rûmî lebih mengisyaratkan sebuah perenungan ke-dirian untuk menyepi dari kehidupan dunia yang penuh dengan selubung kebenaran.
Perihal inilah yang akhirnya banyak mendorong kemunculan gerakan-gerakan spiritual yang bersifat eksklusif-asketis (tarîqah), mereka hanya ingin melakukan pertaubatan-pertaubatan nafsîyah dan bersifat vertikal tanpa pernah mencoba untuk melakukan kematangan spiritual dengan berlaku saleh dalam kehidupan sosialnya.
Sebenarnya tasawuf sudah mempunyai modal sosial yang cukup kuat untuk dapat diterapkan pada kehidupan sosial. Kita lihat dalam maqâmât ada beberapa hal yang menjadi sifat dasar manusia yang dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan sosialisasi dengan masyarakat, seperti zuhud: kalau kita merujuk pada awal kemunculan tradisi zuhud adalah usaha pemberontakan atas kehidupan materialistik, manusia telah mendewakan harta dan bentuk dunia sebagai tujuan hidupnya.
Seharusnya, dalam hal ini pula, zuhud tidak lantas hanya dimaknai secara eksklusif yang jauh dari realitas keduniaan, akan tetapi spirit pemberontakan atas kehidupan yang bersandar pada kemewahan dan ketumpah-ruahan menjadi dasar perjalanan melewati kehidupan bersama ini. Kemudian, mahabbah (cinta): ketika cinta mampu menjadi demitologisasi bukan berarti sebuah metode reduksionis, melainkan sebuah metode hermeneutika untuk menginterpretasikannya secara eksistensial.
Maksudnya adalah perkembangan maqâmat dan ah}wâl yang ada dalam tradisi tasawuf telah menjadi sebuah mitos penyelamatan (History Of Salvation) bagi orang-orang yang ingin menemukan kebenaran sejati, hal inilah yang harus di interpretasi ulang pada saat ini.
Sebuah kebenaran sejati harusnya mengawali pada usaha untuk meneladani etika keIlahian dengan menerapkannya pada kehidupan sesama manusia ataupun alam sekitarnya. Sehingga untuk menemukan jalan ke Tuhan bukan lagi hidup secara asketis, akan tetapi mampu hidup yang menyejarah. Adaptasi dari tulisan M. Iqbal yang berjudul Hermeneutika Teologi Rudolfr Karl Bultman. [Teosofi—Volume 1 Nomor 2 Desember 2011]
Dasar atas relasi sosial antar masyarakat, maka akan memunculkan sebuah tatanan masyarakat yang damai tanpa adanya kekerasan yang menjadi masalah di mana-mana. Eksplorasi terhadap syair-syair Rûmî dapat dilakukan sebagai upaya untuk mengaitkan realitas dunia teksnya dengan realitas kehidupan sosial yang berkembang saat ini. Hal ini merupakan upaya untuk “membumikan” ajaran-ajaran tasawuf Jalâl al-Dîn Rûmî dalam kesadaran masyarakat luas. Baca Juga : Thosin-al-siraj-Al-Hallaj
Sebab, sebuah makna itu tidak akan muncul tanpa adanya kehadiran data pada kesadaran budi untuk mengafirmasinya. Maka, apabila term-term tasawuf tersebut diinterpretasikan kembali, maka hal ini akan menjadi letupan yang cukup kuat pada keilmuan tasawuf, beberapa maqâmât dan ahwâl yang ada dapat dijadikan dasar metafisis untuk membentuk citra kehidupan masyarakat yang inklusif, resiprositif dan egaliter dalam realitasnya.
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......