BERTUHAN TANPA MURSYID HASILNYA ADALAH TUHAN KIRA KIRA ATAU TUHAN PIKIR PIKIR
Disisi yang lain kemursyidan sering kali ditolak oleh sebagian ulama, terutama ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka
merasa mampu menembus jalan rohani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur’an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap sumber-sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid.
Pandangan demikian hanya layak secara teoritika belaka.Tetapi dalam praktek sufisme, dapat dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual. Bukti-bukti historis akan kegagalan sepiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama yang mencoba
menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi,
yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Atha’illah as-Sakandari, Sulthanul
Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Abdul Wahab asy-Sya’rani, dan Hujjatul Islam
Abu Hamid Al-Ghazali, yang pada akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri,
bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid.
Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, “Bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang
Syekh atau Mursyid”. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah “dunia ilmu”, yang hakikatnya lahir dari amaliah. Apa-apa yang diserap atau yang ditangkap dari ilmu adalah sebuah produk dari hasil amaliah atau kreasi yang bersifat tafsiri berdasarkan metode-metode berfkir yang di kenal dengan
Ilmu logika atau Ilmu mantik dan lain-lain.
Sedangkan jalan berma’rifat kepada Allah SWT, tidak bisa begitu saja ditempuh dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih pemahaman dan
pengatuan pada tataran Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Walaupun mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipudaya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan rohani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif
(bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan
dan bahkan dari jin.
Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Dalam keadaan ini, Arif Billah, Al-Qutub, Maulana Saidi syeakh Der Moga Barita Raja Muhamad Syukur, Quddasa Alaihi Zirru, pemimpin besar Waliyan Mursyidana, waahli silsilah at-Tharikatun Naqsyabandi al-khalidyah, berfatwa “BerTuhan tanpa mursyid hasilnya adalah Tuhan kira-kira, dan kebenaranya sangat sepikulatif karena untuk berma’rifat harus ada yang mengantarkan, harus ada yang menunjuki, sebagaimana Nabi Muhammad bin Abdullah bermakrifat kepada Allah diantar Jibril dengan menggunakan alat Buroq sebagai media”.
Di sinilah jebakan-jebakan dan tipudaya penempuh jalan sufi muncul. Dalam keadaan ini, Arif Billah, Al-Qutub, Maulana Saidi syeakh Der Moga Barita Raja Muhamad Syukur, Quddasa Alaihi Zirru, pemimpin besar Waliyan Mursyidana, waahli silsilah at-Tharikatun Naqsyabandi al-khalidyah, berfatwa “BerTuhan tanpa mursyid hasilnya adalah Tuhan kira-kira, dan kebenaranya sangat sepikulatif karena untuk berma’rifat harus ada yang mengantarkan, harus ada yang menunjuki, sebagaimana Nabi Muhammad bin Abdullah bermakrifat kepada Allah diantar Jibril dengan menggunakan alat Buroq sebagai media”.
Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: “Barangsiapa menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru (seorang pembimbing/Mursyid), maka gurunya adalah syetan pendapat Imam Malik. "Jika seseorang berjalan tanpa mursyid, dia akan tersesat. Dia akan menghabiskan umurnya tanpa mencapai apa yang diharapkan." (Ibnu Athaillah). Dan dalam Al-Quran (Al-Maidah-35) juga di sebutkan: bertaqwalah kamu dan carilah wasilah. Oleh sebab itu, seorang
ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing rohani, walaupun secara
lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding
sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya, dan Mursyidlah sebagai penunjuk Jalan dan mengantarkannya berma’rifat kepada Allah. Dan berma’rifat kepada Allah adalah wajib. “awaluddin ma’rifatullah, akhiruddin ma’rifatullah”. (Hadist) Baca juga. JATUH BANGUN AGAMA KURANG MEMAHAMI KEINGINAN TUHAN.
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......