SESUNGGUHNYA LANGIT DAN BUMI TIDAK AKAN MAMPU MENAMPUNG AKU
Syaikh Mawlana Jalaluddin Rumi "Diamlah ! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kau lemparkan sembarangan seperti sebutir batu".
Kalau kita memahami puisi Syaikh Mawlana Jalaluddin Rumi di atas dengan pemahaman menggunakan logika atau akal pikiran yang disebut dengan pemahaman secara ilmiah maka yang menyatakannya akan dianggap sebagai orang yang aneh, koq DIAM !, apabila seseorang sudah cinta maka di dalam dadanya yang berbicara.
Kalau kita memahami puisi Syaikh Mawlana Jalaluddin Rumi di atas dengan pemahaman menggunakan logika atau akal pikiran yang disebut dengan pemahaman secara ilmiah maka yang menyatakannya akan dianggap sebagai orang yang aneh, koq DIAM !, apabila seseorang sudah cinta maka di dalam dadanya yang berbicara.
Tentulah kenyataannya dada atau qalbu (hati) dapat dimuati orang-orang yang dicintai, kota yang pernah disinggahi, negara yang pernah disinggahi bahkan dapat dimuati bumi dan langit beserta seisinya.
Allah ta’ala berfirman dalam hadist Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu ’Umar r.a.: “Sesungguhnya langit dan bumi tidak akan mampu menampung Aku. Hanya hati orang beriman yang sanggup menerimanya.”
Kita kadang menemukan perkataan ulama sufi atau para wali Allah (kekasih Allah) yang telah mencapai puncak kewalian tertinggi kalau menurut akal pikiran atau logika adalah sesat seperti kemanunggalan atau bersatu dengan Allah atau bahkan “aku adalah Allah“.
Sejauh mereka menyatakannya tidak keluar dari Meng-Esa -kan Allah Swt, sifat penghambaan kepada Allah Azza wa Jalla maka perkataan itu pada hakikatnya tidaklah masalah.
Ungkapan cinta mereka sebaiknya janganlah dimaknai secara dzahir sebagaimana yang dipahami oleh ulama Wahabi dan para pengikutnya.
Ibarat sepasang kekasih mereka bersatu namun secara dzahir mereka tidak bersatu. Allah Azza wa Jalla dekat tidak bersentuh, jauh tidak berjarak dan tidak berarah.
Allah SWT berfirman:
اَ لَاۤ اِنَّهُمْ فِيْ مِرْيَةٍ مِّنْ لِّقَآءِ رَبِّهِمْ ۗ اَ لَاۤ اِنَّهٗ بِكُلِّ شَيْءٍ مُّحِيْطٌ
alaaa innahum fii miryatim mil liqooo`i robbihim, alaaa innahuu bikulli syai`im muhiith
"Ingatlah, sesungguhnya mereka dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhan mereka. Ingatlah, sesungguhnya Dia Maha Meliputi segala sesuatu."
(QS. Fussilat 41: Ayat 54)
Al-Hakim al-Tirmidzi mengungkapkannya dengan liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan), Abu Yazid al-Busthami mengungkapkannya dengan kata ittihad , al-Hallaj mengungkapkannya dengan kata hulul, Ibn ‘Arabi, Siti Jenar dikenal orang banyak pernah mengungkapkannya dengan kata wahdatul wujud.
Para Wali Allah mengungkapkannya dengan perasaan cinta oleh karenanya kita harus memahaminya dengan bahasa cinta seperti balaghoh atau makna majaz, menggunakan akal qalbu, akal pikiran yang ditundukkan kepada akal qalbu atau yang dinamakan pemahaman berdasarkan karunia dari Allah Azza wa Jalla yakni pemahaman secara hikmah sebagaimana Ulil Albab, yang sering diterjemahkan sebagai orang-orang yang berakal atau pemilik lubb (qalbu) atau orang yang memahami firmanNya menggunakan akal qalbu berdasarkan karunia hikmah dari Allah Azza wa Jalla.
Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya
“Allah menganugerahkan al hikmah (pemahaman yang dalam tentang Al Qur’an dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya Ulil Albab yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)“. (QS Al Baqarah [2]:269 ).
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan Ulil Albab” (QS Ali Imron [3]:7 )
Allah SWT berfirman:
اَللّٰهُ نُوْرُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ ۗ مَثَلُ نُوْرِهٖ كَمِشْكٰوةٍ فِيْهَا مِصْبَاحٌ ۗ الْمِصْبَاحُ فِيْ زُجَاجَةٍ ۗ اَلزُّجَاجَةُ كَاَنَّهَا كَوْكَبٌ دُرِّيٌّ يُّوْقَدُ مِنْ شَجَرَةٍ مُّبٰـرَكَةٍ زَيْتُوْنَةٍ لَّا شَرْقِيَّةٍ وَّلَا غَرْبِيَّةٍ ۙ يَّـكَادُ زَيْتُهَا يُضِيْٓءُ وَلَوْ لَمْ تَمْسَسْهُ نَارٌ ۗ نُوْرٌ عَلٰى نُوْرٍ ۗ يَهْدِى اللّٰهُ لِنُوْرِهٖ مَنْ يَّشَآءُ ۗ وَ يَضْرِبُ اللّٰهُ الْاَمْثَالَ لِلنَّاسِ ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ
allohu nuurus-samaawaati wal-ardh, masalu nuurihii kamisykaatin fiihaa mishbaah, al-mishbaahu fii zujaajah, az-zujaajatu ka`annahaa kaukabun durriyyuy yuuqodu min syajarotim mubaarokatin zaituunatil laa syarqiyyatiw wa laa ghorbiyyatiy yakaadu zaituhaa yudhiii`u walau lam tamsas-hu naar, nuurun 'alaa nuur, yahdillaahu linuurihii may yasyaaa`, wa yadhribullohul-amsaala lin-naas, wallohu bikulli syai`in 'aliim
"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya-Nya, seperti sebuah lubang yang tidak tembus yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam tabung kaca, (dan) tabung kaca itu bagaikan bintang yang berkilauan, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang diberkahi, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah memberi petunjuk kepada cahaya-Nya bagi orang yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. An-Nur 24: Ayat 35)
Apa yang diungkapkan oleh para kekasih Allah berbalas dengan firman Allah Azza wa Jalla ketika Dia mencintai hambaNya.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya.” (HR Bukhari 6021)
Syaikh Abu al Abbas radliallahu ‘anhu mengatakan bahwa kata sufi (al-shufi)
terbentuk dari empat huruf: shad, waw, fa, dan ya.
Huruf shad berarti shabruhu (kebesarannya), shidquhu (kejujuran), dan shafa’uhu(kesuciannya)
Huruf waw berarti wajduhu (kerinduannya), wudduhu (cintanya), dan wafa’uhu(kesetiaannya)
Huruf fa’ berarti fadquhu (kehilangannya), faqruhu (kepapaannya), dan fana’uhu(kefanaannya).
Huruf ya’ adalah huruf nisbat.
Apabila semua sifat itu telah sempurna pada diri seseorang, ia layak untuk menghadap ke hadirat Tuhannya. Dzun-nun-si-orang-mesir-dan-kisah
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......