FENOMENA MENGKRITIK KAUM SUFI ADALAH BUAH DARI KEBODOHAN SESEORANG TENTANG MEREKA (KAUM SUFI)
Orang-orang yang mengkritik para sufi secara umum, baik dari kalangan awam maupun dari kalangan ulama', sebenarnya tidak mengkritik mereka melainkan hanya karena ketidaktahuan terhadap makna-makna yang coba disampaikan oleh para sufi tersebut. Mereka menuduh kaum sufi dengan berbagai tuduhan karena mereka tidak pernah berinteraksi langsung dengan para sufi dan meminta penjelasan terhadap perkataan para sufi tersebut.
Namun, banyak dari kalangan ulama' yang pada awalnya mengkritik para sufi, namun setelah bersahabat dengan para sufi, maka mereka kembali mengakui kebenaran yang disampaikan oleh golongan sufi.
Imam Ahmad bin Hanbal r.a., sebelum mengenal golongan sufi, melarang putranya bersahabat dengan mereka. Namun, setelah beliau mengenal lebih dekat dengan Syekh Abu Hamzah Al-Baghdadi r.a., seorang sufi, beliau berkata kepada anaknya: “Wahai anakku. Hendaklah kamu duduk bersama-sama dengan kaum tersebut (sufi). Sesungguhnya ilmu mereka, muroqobah mereka, ketakutan mereka kepada Allah s.w.t., zuhud mereka dan semangat mereka, lebih banyak dari kita.” (Tanwir Al-Qulub M/S: 405).
Begitu juga dengan Sultanul-Ulama' Imam Izzuddin bin Abdul Salam r.a., sebelum bertemu dengan Syekh Abil Hasan As-Syadzali r.a., beliau adalah orang yang paling lantang mengkritik kaum sufi dengan berkata:
"Adakah jalan lain selain dari Al-Qur'an dan As-Sunnah?"
Namun, setelah peristiwa yang terjadi di Mansurah, Mesir, di mana Syekh Izzuddin bin Abdul Salam r.a., Syekh Makinuddin Al-Asmar r.a. dan Syekh Taqiyuddin ibn Daqiq Al-'Id r.a. bertemu dengan Syekh Abul Hasan As-Syadzali r.a., maka mereka (termasuklah Imam Izzuddin bin Abdul Salam) mengakui kebenaran kaum sufi. Peristiwa ini diceritakan sendiri oleh Syaikh Makinuddin Al-Asmar yang dikemudian hari menjadi pendukung manhaj tarbiah Imam As-Syadzali r.a..
Kisahnya, di mana suatu saat mereka berkumpul di Mansurah, lalu mereka membaca kitab Ar-Risalah Al-Qusyairiyah. Setiap dari mereka mengulas kitab tersebut dalam majlis itu. Tanpa disangka-sangka, Imam Abul Hasan As-Syadzali r.a. berjalan melewati pondokan mereka, kemudian mereka memanggil Imam Abul Hasan As-Syadzali r.a. supaya mengulas kitab tersebut kepada mereka.
Imam Abul Hasan As-Syadzali r.a. lalu berkata : "Kalian adalah ulama-ulama besar. Kalian adalah penghulu-penghulu ilmu zaman ini. Bukankah kalian sudah mengulasnya? Maka, apakah masih layak untuk orang seperti saya ini mengulasnya untuk kalian?
Namun, mereka membujuk Imam As-Syadzali r.a. agar bersedia mengulasnya, kemudian Imam As-Syadzali r.a. mengulasnya dengan ulasan sufi yang mendalam. Akhirnya, Imam Izzuddin Abdus Salam berlari keluar pondokan
lalu menyeru:
"Wahai sekalian manusia. Marilah bersama-sama kami. Marilah mendengar ulasan-ulasan yang memberi penawar bagi hati." (Muqoddimah buku Anwar An-Nabi m/s 47 oleh Syekh Ahmad Farid Al-Mazidi)
Begitu juga halnya yang terjadi pada Imam Ibn 'Atho'illah As-Sakandari r.a., yang merupakan ulama' Al-Azhar di zaman beliau, yang pada awalnya menolak kaum sufi. Namun, setelah bertemu dengan Syekh Abul Abas Al-Mursi r.a. (murid Imam Abul Hasan As As-Syadzali r.a.), beliau akhirnya menjadi orang yang paling banyak berkhidmat dalam menyebarkan ilmu kaum sufi yang benar. ( Lato'if Al-Minan oleh Imam As-Sakandari r.a.)
Imam As-Sya'rani juga mengingkari kaum sufi secara umum, sebelum bertemu dengan Syaikh Ali Al-Khawwas r.a.. Setelah berguru dengan Syaikh Al-Khawwas r.a., Imam As-Sya'rani r.a. juga menjadi ulama yang banyak berkhidmat dalam menyebarkan dan mempertahankan ajaran sufi yang benar.
Banyak para ulama' yang mengalami hal demikian, yang pada awalnya mengingkari para sufi secara umum, akhirnya mendukung kaum sufi, karena menemukan kebenaran yang disampaikan oleh kaum sufi tersebut.
Oleh karena itu, jika seseorang tidak memahami istilah-istilah yang digunakan oleh para sufi, maka janganlah cepat latah dan tergesa-gesa menyalahkan dan menghukum sesat suatu perkara. Karena hal ini bisa membawa pada berburuk sangka.
Sekurang-kurangnya, kembalikan pada kaidah yang dijelaskan oleh Imam An-Nawawi r.a. dalam menghadapi hal-hal yang melibatkan kaum sufi dan para wali Allah s.w.t. Imam An-Nawawi r.a. berkata tentang hal yang sering dipermasalahkan oleh sebagian pihak terhadap para sufi :
"Jika kamu mendengar ucapan-ucapan mereka (yang samar maknanya), maka ta'wilkanlah ia dengan tujuh puluh ta'wilan (untuk baik sangka kepada mereka)" (Syarh Al-Muhadzdzab)
Imam Al-Mujtahid Tajuddin As-Subki r.a. berkata dalam kitab Ma'id An-Ni'am:
"Ada dari kalangan fuqoha' yang walaupun secara lahiriyah menjaga syariat, mengamalkan perintah dan meninggalkan laranganNya, namun malangnya, mereka bersikap meremehkan fuqoro' (kaum sufi) dan ahli tasawwuf dengan menafikan kebaikan pada mereka. Mereka mencela kaum sufi hanya karena mendengar perkara-perkara yang disebutkan tentang kaum sufi, padahal kabar dari pendengaran berbeda di kalangan manusia. Orang yang meremehkan kaum sufi sebenarnya tidak mengetahui tentang mereka. Wajib bagi kita untuk menyerahkan (takwil) keadaan mereka kepada mereka sendiri. Kita tidak boleh menyalahkan mereka semata-mata ungkapan-ungkapan yang keluar dari mulut para sufi, yang secara lahiriyah menyalahi. Jika boleh menta’wil perkataan mereka, maka lakukanlah. Ta’wilkan dengan ta’wilan yang baik, terutama perkataan mereka yang diakui sebagai kepercayaan. Sesungguhnya, saya (Imam As-Subki r.a.) tidak menjumpai seorang faqih pun yang mengingkari kaum sufi dan mencela mereka, melainkan Allah s.w.t. membinasakannya…Merekalah ahli Allah s.w.t…".
Inilah perkataan Imam As-Subki r.a., (seperti yang dinukil oleh Imam As-Suyuti dalam ta'yiiad al-haqiqah al-aliyah) seorang ulama' fiqh madzhab Syafi'i, yang mana beliau bukanlah dari kalangan ahli sufi, tetapi tetap mengakui kebenaran dan kemuliaan kaum sufi, karena adil dalam menilai kaum sufi secara menyeluruh.
#Catatan bagi orang awam dan para pemikir/penulis yang kering dan dangkal tanpa SULUK
Dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadzi bahwa di zaman tersebut, orang yang berpegang teguh dengan agama hingga meninggalkan dunianya, ujian dan kesabarannya begitu berat. Ibaratnya seperti seseorang yang memegang bara (nyala) api. Bara api tentulah panas dan tentu amatlah sulit mempertahankan genggaman tersebut tanpa membuat tangan melepuh.
Ath Thibiy berkata bahwa maknanya adalah sebagaimana seseorang tidak mampu menggenggam bara api karena tangannya bisa terbakar sama halnya dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Islam saat ini, ia sampai tak kuat ketika ingin berpegang teguh dengan agamanya. Hal itu lantaran banyaknya maksiat di sekelilingnya, pelaku maksiat pun begitu banyak, kefasikan pun semakin tersebar luas, juga iman pun semakin lemah.
Sedangkan Al Qari mengatakan bahwa sebagaimana seseorang tidaklah mungkin menggenggam bara api melainkan dengan memiliki kesabaran yang ekstra dan kesulitan yang luar biasa. Begitu pula dengan orang yang ingin berpegang teguh dengan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di zaman ini butuh kesabaran yang ekstra.
Itulah gambaran bagi orang-orang yang konsisten dengan ajaran Islam secara kafah saat ini, yang ingin terus menjalankan ibadah sesuai sunnah Rasul , begitu sulitnya dan begitu beratnya.
Acapkali bagi masyarakat awam, orang-orang yang memegang teguh terhadap ajaran ajaran Islam sejati adalah orang-orang yang fanatik. Kadang cacian yang mesti diterima. Kadang dikucilkan oleh masyarakat sekitar. Kadang jadi bahan omongan yang tidak enak. Bahkan parahnya sampai-sampai ada yang nyawanya dan keluarganya terancam.
Melawan arus, dimana kita mencoba menjadi orang baik disaat menjadi salah adalah sesuatu yang wajar, tentu mendapat konsekuen yang tidak mengenakkan dalam kehidupan bermasyarakat. Demikianlah resikonya.
Namun nantikan balasannya di sisi Allah SWT yang luar biasa andai mau bersabar.
Ingatlah janji Allah SWT,
إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10).
Sebagaimana disebut dalam Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim karya Ibnu Katsir, Al Auza’i menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa ditimbang dan tak bisa ditakar. Itulah karena saking banyaknya. Ibnu Juraij menyatakan bahwa pahala mereka tak bisa terhitung (tak terhingga), juga ditambah setelah itu. Inilah masa dimana orang-orang yang berpegang teguh dalam Islam bagai memegang bara api.
Berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ini memang amat berat, bagai mereka yang memegang bara api.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَأْتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالْقَابِضِ عَلَى الْجَمْرِ
“Akan datang kepada manusia suatu zaman, orang yang berpegang teguh pada agamanya seperti orang yang menggenggam bara api.” (HR. Tirmidzi no. 2260. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan). Baca juga : Kontroversi-tentang-wahdatul-wujud
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......