KESAKSIAN KITA
Dalam sebuah puisi
sufistiknya bertajuk “Syahadat Kita”, penyair klasik Jalaluddin Rumi mengajak
para pembacanya mengernyitkan dahi sejenak. Rumi menggelitik kesadaran
spiritual kita :
Dia berkata Tiada tuhan lalu
dia berkata kecuali Tuhan.
Dari Tiada menjadi kecuali Tuhan
maka menjelmalah Keesaan
Tuhan berada dimana-mana.
Ia juga hadir dalam tiap gerak.
Namun Tuhan tidak bisa ditunjuk dengan ini dan itu.
dia berkata kecuali Tuhan.
Dari Tiada menjadi kecuali Tuhan
maka menjelmalah Keesaan
Tuhan berada dimana-mana.
Ia juga hadir dalam tiap gerak.
Namun Tuhan tidak bisa ditunjuk dengan ini dan itu.
Sebab wajah-Nya terpantul dalam keseluruhan ruang.
Walaupun sebenarnya Tuhan itu mengatasi ruang.
Mengapa hati begitu terasing dalam dua dunia?
Itu disebabkan Tuhan Yang Tanpa Ruang. Kita lemparkan menjadi terbatasi ruang.
Kebenaran sepenuhnya bersemayam di dalam hakekat,
Tapi orang dungu mencarinya di dalam kenampakan.
Setiap orang melihat Yang Tak Terlihat dalam persemayaman hatinya.
Dan penglihatan itu bergantung pada seberapakah
ia menggosok hati tersebut.
Bagi siapa yang menggosoknya hingga kilap, maka bentuk-bentuk Yang Tak Terlihat
semakin nyata baginya.
Di manapun, jalan untuk mencapai kesucian hati ialah melalui kerendahan hati. Maka dia akan sampai pada jawaban “Ya” dalam pertanyaan. Bukankah Aku Tuhanmu?
Tanpa dimensi spiritual, manusia hanyalah robot berdaging yang hidup di bumi
dengan segala aktivitas bernilai relatif, yang dijalankannya dari hari ke hari
sekedar menunggu atau menunda saat kematiannya. Tanpa dimensi spiritual,
manusia takkan pernah bisa menyempurnakan kemanusiaan nya.
Di antara kaum sufi yang mengikuti jejak pemikiran Ibnu Arabi tersebut adalah Syamsuddin Sumatrani. Pengajaran
Syamsuddin Sumatrani tentang Tuhan dengan corak paham wahdatul wujud dapat dikenal dari pembicaraannya tentang maksud kalimat tauhid la ilaha illallah, yang secara harfiah berarti tiada Tuhan selain Allah. Ia menjelaskan bahwa kalimat tauhid tersebut bagi salik (penempuh jalan tasawuf) tingkat pemula (al-mubtadi) dipahami dengan pengertian bahwa tiada ada mabud (yang disembah) kecuali Allah. Sementara bagi salik yang sudah berada pada tingkat menengah (al-mutawassith), kalimat tauhid tersebut dipahami dengan pengertian bahwa tidak ada maksud (yang dikehendaki) kecuali Allah. Adapun bagi salik yang sudah berada pada tingkat penghabisan (al-muntaha), kalimat tauhid tersebut difahami dengan pengertian
bahwa tidak ada wujud kecuali Allah. Baca juga KHALIFAH UMAR DITANYA BEBERAPA PENDETA
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......