TAFAKUR LEBIH BAIK DARI PADA TUJUH PULUH TAHUN IBADAH

Syaikh Jamaluddin saat memberikan sambutan berkata: “Saya datang ke sini tidak untuk berbicara, satu-satunya niat saya datang kesini hanyalah untuk mendengarkan Syaikh Hisyam berbicara. Pertama kali saya bertemu dengan Syaikh Hisyam yaitu di Madinah al-Munawwarah saat beliau
berziarah di makam Sayyidah Fathimah az-Zahra. Beliau berdoa di makam Sayyidah
Fathimah itu dan saya memperhatikan beliau karena beliau berdoa begitu lama,
saya tidak tahu doa apa saja yang beliau ucapkan, selama 45 menit. Setelah itu
saya menghampiri dan mencium tangan beliau.
Saya bukan pembicara yang baik, Allahuma innii asa-luka bisirri Abu Bakr ash-Shiddiq. Fadhilah Hadhratus Syaikh Hisyam Kabbani yang terhormat, adalah seorang syaikh dan ulama
yang terkenal, semoga Allah memberkahi beliau.
Dan kita semua bangga Syaikh Hisyam berada di sini, dan saya rasa semua orang tahu, saya tidak perlu mengatakan apapun. Syaikh Muhammad Hisyam Kabbani tiba memberikan taushiyahnya: “Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Semoga Allah memberkahi Husain Haqqani. Kita semua sangat berbahagia bisa
berkumpul di tempat ini, yang didirikan melalui berbagai kesulitan. Namun inilah tempat bagi Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dan barusan saya bertanya sedikit, saya harus bicara tentang apa, dan beliau menjawab:
“Spiritualitas dalam Islam.” Tetapi di hadapan Maulana Abdus Sattar Khan, tidak
ada yang bisa saya katakan. Karena beliau adalah suritauladan bagi setiap orang. Dan tadi Saudara Jamaluddin mengungkapkan sebuah cerita yang terjadi di masa lalu. Maka saya akan menceritakan kisah tadi dari permulaan.
Itulah cerita saat suatu hari saya berada di Jeddah, saya bertekad untuk mengunjunginya. Karena setiap Kamis dan Jum’at saya biasa pergi ke Madinah al-Munawwarah dan shalat di sana, seolah-olah saya hidup lama di sana. Nah suatu hari, sebelum saya pergi, saya
menerima telepon dari syaikh saya.
Banyak dari Anda tahu beliau, khususnya
Syaikh Abdus Sattar Khan. Syaikh saya adalah Maulana Syaikh Muhammad Nadzim al-Haqqani. Beliau bertanya: “Anda mau pergi ke mana?”
Saya jawab: “Kalau Tuan
mengizinkan, saya akan berziarah ke Rasulullah Saw." Maulana Syaikh Nadzim
berkata: “Ciumlah gerbang makam beliau Saw. untukku.” Wah, kalau ada orang yang meminta hal seperti ini kepada Anda, apa yang bisa Anda katakan? Apalagi bila orang itu syaikh anda. Tapi akal saya mulai berpikir, bagaimana bisa saya melakukan hal itu dengan semua barikade dan penjaga keamanan? Tidak mungkin! Kemudian pergilah saya waktu itu ke Madinah al-Munawwarah. Ketika Rasulullah Saw. diperjalankan oleh Allah Swt. pada Isra’ dan Mi’raj, dan inilah masalah yang dihadapi kebanyakan kita saat ini, dan cerita saya ini akan memberikan jawabannya, inilah arti
spiritualitas.
Spiritualitas bukanlah sesuatu yang harus Anda usahakan selain shalat, puasa, bersedekah dan naik haji. Spiritualitas adalah jalan guna mencapai maqam al-Ihsan yang mana tadi Maulana Abdus Sattar mengutip hadits Sayyidina Umar Ra. tentang bagaimana mencapai kondisi ihsan. Anda harus mengamalkan 5 rukun Islam dan menerima 6 rukun iman, kemudian bagaimana
mencapai kondisi ihsan. Soal ini sangatlah kompleks dan pelik. Anda tidak bisa
mengatakan: “Oh, aku bisa mencapai maqam itu sendirian.” Tentunya anda akan
berputar-putar di tempat.
Anda harus mempunyai pembimbing
ruhani. Dan kalau Anda mencarinya, Anda akan menemui pembimbing ruhani
tersebut. Itulah para wali Allah. Semua waliyullah bersaudara dan mereka saling
mencintai satu sama lain. Saya tidak bicara tentang wali-wali palsu, tetapi ini
para wali Allah yang sesungguhnya, yang mendedikasikan hidup mereka bagi para
muridnya.
Nah, waktu itu saya
ngebut dengan kecepatan 150-160 km per jam atau sekitar 120 mil per jam supaya
bisa cepat tiba di sana, di Madinah al-Munawwarah. Karena Maulana Syaikh Nadzim
memerintahkan: “Pergilah dan ciumlah gerbang makam Rasulullah Saw.” Maka pastilah
ada pembukaan.
Kemudian tibalah saya di
sana dengan cepat dan selamat atas berkah Rasulullah Saw. Dan saya harus mandi
dulu sebelum berziarah ke tempat suci yang dijadikan Allah Swt. sebagai sepetak
Surga di dunia. Itulah makam suci Rasulullah Saw.
Kesalahan yang dilakukan
kita semua adalah, ketika kita berziarah ke Muwajjahah, tempat suci sepetak
Surga dunia, (karena) saya tidak suka menyebutnya dengan kata “kuburan”, berat
sekali di hati untuk mengatakan kuburan. Sesungguhnya makam Rasulullah Saw. adalah
qath’an min al-jannah, sepetak Surga dunia. Jadi kalau Anda berkunjung ke Surga
di dunia ini, apa yang akan Anda lakukan? Tentu Anda akan berdiam di sana
selama mungkin, Anda tidak ingin pergi cepat-cepat. Jadi, ketika kita
berziarah ke Rasulullah Saw. adalah adab bagi kita untuk berdiri selama mungkin
di hadirat beliau, meskipun tanpa mengucapkan doa, tapi hanya dengan berdiri di
sana mencoba menghubungkan hati Anda dengan hati beliau Saw.
Dengan kata lain,
taffakur sa’ah khairun min ‘ibadati sab’in sunnah (Sejam bertafakur lebih baik
daripada 70 tahun ibadah sunnah). Itu baru untuk satu jam Anda bertafakur
sendirian. Bisa dibayangkan kalau Anda melakukan tafakur itu di hadirat
Rasulullah Saw. Setiap orang kalau
berkunjung ke makam Rasulullah Saw. akan berdiri di sana selama 5, 7 atau 10
menit lalu pergi. Sebagian orang mungkin sanggup diam lebih lama, tergantung
seberapa dekat ikatan batinnya Rasulullah Saw. Nah, dengan bimbingan para
syaikh, kami berziarah ke Rasulullah Saw. dengan Maulana Syaikh Nadzim berulang
kali. Dan semoga Allah Swt. memberi beliau umur yang panjang, begitu juga umur
yang panjang bagi Maulana Abdus Sattar.
Dan saya pernah menyaksikan bagaimana dulu Maulana Syaikh Nadzim biasa berziarah ke Rasulullah Saw. dan berdoa di sana hingga 3 jam. Sebetulnya bukan doa, namun lebih
merupakan percakapan antara beliau dengan Rasulullah Saw. Anda tidak melihatnya, tapi bisa merasakannya, Anda harus berupaya keras untuk mencapai tingkat musyahadah. Tapi Anda akan merasakan kehadiran Rasulullah Saw. Sejak tahun 1967, saya sering berkunjung ke sana dengan Maulana Syaikh Nadzim, dan beliau menghabiskan waktu 1-1,5 jam di sana, tidak ada penghalang seperti sekarang ini. Anda hanya bisa mencium (gerbang makam) dan segera pergi. Nah, Maulana Syaikh Nadzim dulu biasa berdiri di hadapan makam Rasulullah Saw. sampai 1,5 jam. Kemudian pindah ke Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq Ra., berdiri di situ 1,5 jam. Dan akhirnya ke Sayyidina Umar Ra. selama 1,5 jam lagi. Kemudian ke Bab Jibril, mahbit al-wahy, Anda tahu di mana Sayyidina Jibril biasa datang menyampaikan wahyu kepada Rasulullah Saw. Kemudian kita kembali ke makam Sayyidah Fathimah az-Zahra.
Grand Syaikh Abdullah Faiz ad-Daghestani menceritakan bahwa para malaikat telah memindahkan jazad suci Sayyidah Fathimah ke ujung lahan makam tempat Sayyidina Isa akan
dimakamkan pada akhir zaman nanti. Itulah sebabnya para waliyullah melihat Sayyidah Fathimah di sana. Dan Maulana Syaikh Nadzim berdiri di sana 45 menit. Kemudian ke Bab at-Taubah, dimana dia berdoa khusus di sana (tempat ini sekarang ditutup), lalu akhirnya beliau bersujud.
Di makam Rasulullah Saw., Anda harus memanfaatkan kesempatan. Dan apapun yang ada di hati saya waktu itu, saya pergunakan setiap kesempatan. Biasanya banyak askar (penjaga) yang memerintahkan Anda agar cepat pergi. Tetapi biasanya saya tidak langsung
berdiri, pertama-tama saya berdiri dulu di depan tembok.
Pada malam itu banyak sekali askar penjaga, dan salah satu dari mereka berjenggot merah, dan dialah komandan penjaga. Namun dia tidak mendekati saya dan dia tidak membolehkan anak
buahnya mendekati saya. Ini aneh. Karena biasanya Anda tidak bisa berdiri
selama 1-1,5 jam di sana. Mereka akan menghampiri dan menyuruh Anda pindah,
meskipun baru 5 menit Anda di sana. Akhirnya selesailah saya, untuk kemudian mencium sebuah pilar, pilar besar di bagian belakang, yang kalau Anda ada di sana, orang lain tidak bisa melihat Anda. Tiba-tiba datanglah
askar-askar penjaga berbadan besar, komandannya menghampiri saya.
Dalam hati saya berkata: “Habislah aku sekarang.” Komandan askar tadi
berkata pada saya: “Anda ingin mencium Gerbang Makam Rasulullah Saw. ya?”
Saya jawab: “Ya, benar.”
Lalu komandan askar tadi membawa saya ke Gerbang Surga Suci Rasulullah Saw. dan saya pun bisa mencium Gerbang Makam Rasulullah Saw. Dan tiba-tiba saya merasa semua askar penjaga tidak ada, tidak ada yang saya lihat kecuali Gerbang Makam Rasulullah Saw.
Kemudian saya menciumi Gerbang Makam itu, lalu saya pun berdiri dan segala
sesuatunya kembali normal. Komandan askar tadi datang lagi dan berkata:
“Sampaikan salam saya kepada Syaikh Nadzim.” Itulah dimana Anda (Syaikh Jamaluddin) melihat saya. Saya pergi. Askar tadi tidak pernah tahu Syaikh Nadzim dan Syaikh Nadzim tidak pernah menyebut namanya, dan dia pun
tidak pernah menyebut Syaikh Nadzim. Bagaimana ini terjadi?
Dari Makam Rasulullah
Saw., saya pergi mengunjungi sebuah sekolah yang disebut Madrasah as-Sunnah,
sebuah sekolah as-Sunnah yang dulu selama beberapa tahun Syaikh Nadzim dan
Grand Syaikh Abdullah biasa berkunjung ke sana untuk melakukan suluk. Kemudian
saya mendengar suara kaki berlari di belakang saya.
Saya bergumam: “Wah, mereka datang lagi.”Lalu saya membalikkan badan ketika seorang askar penjaga menghampiri saya sambil membawa Mushaf al-Quran yang dihiasai cantik sekali. Dia memberikan al-Quran itu pada saya dan
berkata: “Oh Hisyam.” (Padahal saya tidak pernah mengenalkan nama saya). Dia berkata: “Ini hadiah dari ayahku untuk Syaikh Nadzim. Ayahku adalah komandan askar di Makam
Rasulullah Saw.” Lalu saya berterima
kasih padanya dan tidak bertanya apa-apa lagi. Karena itu adalah tark al-adab,
bukanlah adab yang baik untuk selalu bertanya. Dalam thariqah Anda tidak perlu
bertanya apa-apa. Anda harus mendengar, “asma’uu wa awuu”, dengar dan laksanakan apa yang Anda dengar. Kalau Anda paham hal ini Anda akan sempurna, Anda telah mencapai tujuan tertinggi. Akhirnya saya tinggalkan
tempat itu, tapi saya begitu terkesan dengan peristiwa tersebut.
Anda tidak mampu memahaminya. Tentu saja saya sekarang memahaminya. Sebelum ini seolah
hilang dari ingatan. (Tapi pertanyaannya adalah): “Apakah akal itu berada di
otak atau di dalam hati?”
Syaikh Abdul Haq, mereka menanyakan hal ini pada para muridnya dan muridnya ada yang menjawab: “Akal itu di otak.” Dan ada yang menjawab: “Tidak, akal itu di dalam hati.” Mana yang lebih besar,
akal yang ada di dalam hati atau akal yang ada di dalam otak? Akal yang berada
di dalam hati yang lebih besar. Buktinya? Allah Swt. mengkaruniai kita dengan
akal yang ada di kepala kita, tapi dengan akal yang ada di kepala ini apakah
Anda bisa memahami alam semesta ini?
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ
كَرَّتَيْنِ يَنقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ
خَاسِأً وَهُوَ حَسِيرٌ
Tsummarji’il-bashara
karrataini yanqalib ilaikal-bashar khasi-an wahuwa hasir.
“Kemudian ulangi pandanganmu
sekali lagi dan sekali lagi, niscaya pandanganmu akan kembali kepadamu tanpa
menemukan cacat dan pandanganmu dalam keadaan letih.” (QS. al-Mulk ayat 4).
Tataplah sekali sebuah
bintang, bahkan tataplah dua kali. Apa yang difirmankan oleh Allah Swt.?
Yanqalib ilaikal-basharu khasi-an wahuwa hasir. Pandangan kalian akan melemah
dan kalah. Kekuatan pandangan mata kalian dikalahkan oleh sebuah bintang saja.
Jadi apalagi terhadap 80 milyar bintang di galaksi kita? Jadi apalah yang kita
tahu ini? Kita tidak tahu apa-apa. Jadi, dengan akal yang ada di kepala kita
ini kita tidak tahu apa-apa.
Akan tetapi, dengan akal
yang ada di qalbu kita, kita mengetahui segalanya. Apa yang dikatakan Allah
Swt. kepada Rasullullah Saw., dan apa yang dikatakan Rasulullah Saw. dalam
hadits suci kepada kita?
يقول الله : ما وسعني
أرضي ولا سمائي ولكن وسعني قلب عبدي المؤمن
“Itulah sebabnya Allah
Yang Maha Tinggi berfirman: “Tidaklah surga apalagi bumi dapat menampungKu,
tapi hati hambaKu yang beriman dapat menampungKu.” Artinya, hati orang yang
beriman mengandung cahayaKu, sifat-sifatKu dan pemahaman akan alam semesta. Meskipun
tidak mungkin memahami esensi Allah itu sendiri. Anda kira para waliyullah tidak mempunyai kekuatan untuk menembus alam semesta ini. Mereka punya kekuatan itu atau tidak? (Hadirin menjawab: “Ya, mereka punya”).
Buktinya? Rasulullah Saw. telah melakukan perjalanan melampaui alam semesta
ini, bukan? Alam jagad raya yang kita tidak sanggup lagi melihat satu bintang
sekalipun. Nah, Rasulullah Saw. melintasi seluruh 80 milyar bintang dalam
galaksi kita, kemudian beliau Saw. melintasi 60 milyar galaksi yang lain bahkan
lebih dari itu. Melampaui alam semesta ini. Beliau mencapai “Qaba qausaini au
adna” apa artinya? Mencapai kedekatan dengan Allah Swt. hingga 1 cm atau
mungkin 1 mm. Nah, Allah Swt. mengatakannya kepada Rasulullah Saw., tapi khusunya kepada para waliyullah. Qul (ya Muhammad Saw.) in kuntum tuhibbunallah fattabi’uniy yuhbibkumullah. Inilah
pemahaman khusus bagi para wali Allah. Apakah para waliyullah
mengikuti Rasulullah Saw. atau tidak? Kita mungkin bersusah payah mengikuti
Rasulullah Saw., tapi para waliyullah tidak perlu bersusah payah.
Allah Swt. mengkaruniakan fleksibilitas pada para Auliya, karena mereka menyerahkan
seluruh hidupnya bagi Rasulullah Saw. Itulah spiritualitas. Spiritualitas
artinya mengikuti Rasulullah Saw. di setiap langkah beliau. Artinya, jika Rasulullah
Saw. pergi Mi’raj, para wali pun tentunya harus pergi Mi’raj. Jika tidak,
mereka bukan Wali. Seorang wali harus mengikuti setiap jejak langkah Rasulullah
Saw. Apakah seorang wali mencintai Allah atau tidak? Ya, tentu saja, itulah
syaratnya menjadi wali. Ke manapun Rasulullah Saw. pergi, para wali harus
mengikuti. Itulah sebabnya para wali mampu membimbing. Mereka mengikuti dan
belajar, kemudian mengajarkannya. Ingatlah apa yang pernah
dikatakan Sayyidina Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab Fath ar-Rabbani. Saya
baru saja membacanya hari ini, dan saya harus menyampaikannya, semoga saya
masih ingat. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani berkata: “Ya Ghulam!” Beliau
memanggil murid-muridnya yang merupakan ulama besar, sambil duduk berhadapan
dengan mereka. Para murid duduk bertatap muka dengan beliau, sedangkan beliau
seorang Ghauts.
Beliau berkata: “Ya
Ghulam.” Kalian semua masih kanak-kanak. Kalian ini belumlah dewasa. Inilah
bahayanya, jika kita belum dewasa, bagaimana kita bisa patuh? Bagaimana kita
bisa bertanggung jawab? Apakah Anda akan bertanggung jawab Abdul Haq, ya atau
tidak? Saya sedang bertanya kepada Anda. Anda harus paham ketika Syaikh Abdul
Qadir mengatakan: “Ya Ghulam” pada muridnya. Ada rahasianya di sana. Karena beliau seorang
Wali Ghauts. Saya tidak pernah mengatakan ini sebelumnya, karena kita membahas
kitab Fath ar-Rabbani ini di bulan Ramadhan lalu setiap pagi. Tetapi saya tidak
menjelaskannya dengan cara ini. Namun para waliyullah berkata pada saya:
“Berikan pada mereka sekarang.”
Kalau Anda belum dewasa,
apakah Anda bisa dituntut tanggung jawab? Tentu tidak. Maka artinya kalian
tidak bertanggung jawab. Anda tentu saja masih bertanggung jawab. Tentu saja
beliau bertanggung jawab. Auliyaullah bertanggung jawab. Kalau Anda berbaiat
pada pembimbing Anda, maka pembimbing Anda bertanggung jawab membimbing Anda.
Beliau bertanggung jawab kalau sampai tidak membimbing Anda. Fi kitab al-‘ilmi wahifdzihi bighairi ‘amal.
Anda membuang-buang waktu menulis ilmu pengetahuan dan menghafalkannya tanpa mengamalkannya. Itulah sebabnya berbahaya. Begitu banyak ulama sekarang ini melakukan hal itu dalam hidupnya. Merekalah para ulama bergelar doktor, membuat presentasi-presentasi ilmiah, tapi mereka tidak pernah mengamalkan apa yang mereka pelajari. Apa yang dikatakan
ulama-ulama itu? Katanya: “’Aish yanfak.” Ini bukan bahasa Arab literatur, aish
di sini bahasa sleng. Para ulama itu membuat presentasi-presentasi yang
seolah-olah penting. Aish yanfak tadi artinya “Hai bodoh! Apa manfaat itu semua
buat kami jika kamu sendiri tidak mengamalkannya? Dasar keledai.”
Spiritualitas itu amal shaleh.
Bahkan jika Anda melakukan satu amal shaleh dalam sehari itu lebih baik dibandingkan menghafalkan ribuan ayat. Apa manfaatnya menghafal tapi tidak mengamalkan?
Dan tadi beliau mengutip sebuah hadits Rasulullah Saw. yang saya senang menyebutkannya: “Yaqulullah ‘Azza Wajall bil Anbiya wa l ‘Ulama”, Allah Swt. pada hari kiamat nanti berkata pada para Nabi dan para Ulama, yang artinya orang-orang shaleh: “Wahai kalian, jika kalian pikir kalian itu. Antum kuntum ru’atu al-khalqi fama shana’tum fi ru’yatukum.” Diberikan wewenang sebagai penggembala umat dan bangsa, apa yang
kalian lakukan terhadap domba-domba kalian? Apa saja yang kalian tunjukkan dan ajarkan pada mereka? Anda semua (para nabi dan ulama) harus bertanggung jawab.
Itulah sebabnya semua nabi dan rasul pada hari kiamat nanti, ke mana mereka berlari? Mereka berlari
kepada Sayyidina Muhammad Saw. Mereka khawatir jawaban apa yang harus diberikan
pada Allah Swt. Nah bayangkan kalau para nabi saja berlari ke Rasulullah Saw.
Di manakan para ulama pada hari itu? Masih adakah yang bisa mengaku dirinya
ulama? Bahkan para nabi saja gemetar ketakutan.
Pada hari itu, di manakah para ulama yang duduk di kursi-kursi dunia dan mengeluarkan fatwa-fatwa dengan bangganya seolah-olah mereka ini burung-burung merak yang besar? Para ulama itu harus berlari ke Rasulullah Muhammad Saw., bukannya langsung ke Allah
Swt. Kalau mereka tidak menerima ini, silakan langsung masuk neraka. Nah, Anda melihat begitu banyak raja sekarang ini, duduk di kursinya seperti ayam jantan di hadapan
betina-betinanya. Kita berpikir diri kita ini raja-raja. Coba tanya apakah Anda bisa menemukan 2 orang dengan pola pemahaman yang sama. Anda tidak bisa menemukannya. Karena semua orang masing-masing punya pendapat sendiri.
Maka Rasulullah Saw.
berkata: “Kalau Anda bertiga, tunjuklah seorang Amir dari kalian.” Bahkan jika itu kita lakukan sekarang mereka pun akan bertengkar satu jam tentang siapa yang harus
jadi Amir. Itu semua bukan spiritualitas. Spiritualitas artinya berserah diri.
Taslimiyyah. Allah berkata pada mereka: “Antum kuntum khazanu kunuzikum”, kalian semua adalah pemegang amanat atau penampung dari harta kekayaanKu. Karena semua harta kekayaan ada di tangan para raja. “Hal washaltum al-fuqara”, apakah Anda berhubungan baik dengan kaum fakir miskin? Sayyidina Umar Ra. ketika beliau menjadi khalifah, apa yang beliau lakukan? Beliau menangis. Istrinya bertanya: “Kenapa engkau menangis? Engkau sekarang kalifah.” Sayyidina Umar Ra.
Menjawab: “Sekarang saya harus menangis. Sebelum ini aku tidak dikenakan tanggung jawab. Tapi sekarang jika ada orang yang lapar di tengah hutan, akulah yang bertanggung jawab.” Sayyidina Umar Ra.
terbiasa menggendong karung-karung makanan di punggungnya dan membagikannya ke fakir miskin. Kalian boleh menyebut diri kalian raja atau ratu dan kalian memiliki harta kekayaan dunia ini.
Orang-orang kaya itu menaikkan harga minyak dan menghisap darah masyarakat. Hari ini minyak sudah turun jadi $60 dari $160. Siapa yang menaikkannya dan siapa juga yang menurunkannya? Agar mereka bisa membangun negara mereka untuk melakukan setiap hal yang haram?! Kenapa waktu itu harus dinaikkan, untuk alasan apa? Tentu saja
untuk membangun prostitusi dan pabrik-pabrik minuman keras. Silakan lihat di luar sana. Bagaimana semua itu terjadi? Mereka menaikkan harga sebagai upaya monopoli. Maka, yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya. Itulah yang disampaikan
pada mereka, dan itulah hadits Rasulullah Saw. yang diceritakan oleh Sayyidina
Abdul Qadir al-Jailani dan ditulis dalam kitab Kanz al-‘Ummal dan berbagai kitab hadits lainnya. Apakah Anda membantu fakir miskin? “Hal rabbaitum al-aitam”, dan apakah Anda memelihara anak-anak yatim? Berapa banyak makanan yang diberikan pada anak-anak yatim dan Anda temukan besoknya makanan itu sudah dijual di pasaran.
Di manapun terdapat anak yatim, harus ada makanan yang dikirimkan pada mereka. “Wa akhrajtahul haqq
alladzi huwa haqq al-fuqara”, apakah anda menyisihkan sebagian dari uang yang
ditakdirkan sebagai milik Anda sebagai hak Aku untuk diberikan pada fakir
miskin? Kalian akan dikenakan pertanyaan-pertanyaan ini.
Nah, sekarang di mana
posisi kita? Apakah kita ini ghulam atau bukan? Karena kita disebut para
ghulam, kita tidak akan dituntut tanggung jawab. Bukan saya yang mengatakan
ini, tapi Sayyidina Abdul Qadir al-Jailani. Beliau akan bertanggung jawab atas
diri pengikutnya. Seorang wali sudah cukup untuk membawa setiap orang ke surga
di maq’ad shiddiqin.
Sayyidina Muhammad Saw.
adalah Rasul umat ini, maka beliau pasti bersama umatnya, dunia dan akhirat.
Maka berbahagialah. Anda kira Rasulullah Saw. akan sendirian di surga nanti.
Tentu saja umatnya akan menyertai beliau. Bergembiralah.
Tersenyumlah. Itulah
maqam at-tasyrif. Mari kita kembali kepada yang kita ceritakan sebelumnya.
Ketika Rasulullah Saw.
melaksanakan Mi’raj, beliau bertemu Nabi Musa As., dan selalu saja Sayyidina
Musa As. punya pertanyaan-pertanyaan. Beliau senang bertanya. Nabi Musa As.
berkata: “Ya Rabbi ariniy andzur ilaik.”
Allahu Akbar. Pertanyaan
yang mudah. Namun Rasulullah Saw. tidak pernah mengajukan pertanyaan. Beliau
Saw. selalu sami’na wa atha’na, dengarkan dan patuhi. Beliau Saw. mendengarkan
Sayyidina Jibril. Tidak pernah beliau bertanya. Kecuali hanya satu kali. Ketika
beliau Saw. meninggalkan langit yang ke tujuh, beliau bertanya pada Sayyidina
Jibril: “Apakah engkau ikut denganku?” Beliau Saw. meminta Sayyidina Jibril
menyertainya sebagai teman.
Sayyidina Jibril
menjawab: “Tidak, aku tidak bisa ikut. Aku akan terbakar habis jika
mencobanya.” Jadi hanya Rasulullah Saw. yang bisa mencapai maqam tersebut.
Rasulullah Saw.
menghadap hadirat Ilahi sendirian. Beliau ada di maqam at-tauhid. Sekarang ini,
hanya itu-itu saja yang mereka ucapkan tentang tauhid, mereka bertauhid
sedangkan yang lainnya kafir. Tauhid al-uluhiyyah, tauhid ar-rububiyyah dan
tauhid apa lagi saya lupa. Seolah-olah hanya merekalah muwahid itu.
Apakah
Rasulullah Saw. akan menghadap Allah Swt. hanya bersama “sebuah kelompok kecil”
yang muncul baru-baru ini? Bagaimana dengan umat Muslim yang hidup terdahulu,
apakah mereka tidak bertauhid? Apakah mereka tidak bisa masuk surga?
“Ya akhii.” Bahkan dia
berkata: “Ya akhii”. Namun beliau berkata: “Ya
Sayyidi, ya Rasulullah!” Tentu saja beliau mengatakan itu. Rasulullah Saw.
bersabda: “Ana sayyidu waladi adam wala fakhr”, Akulah pemimpin anak-anak Adam,
dan aku mengatakannya tanpa sikap bangga.
Maka kemudian Sayyidina
Musa As. berkata: “Bolehkah saya bertanya karena ada hal yang sangat mengganggu
di benakku?”
Anda berkata: “Al-‘ulama
waratsatul anbiya’”. Dengan segala hormat kepada para ulama, tentu bukan para
ulama baru, tapi ulama-ulama sesungguhnya seperti Sayyidina Abdul Qadir
al-Jailani, auliyaullah.
Anda berkata: “Mereka
adalah penerus dari para nabi.” Apakah ilmu mereka bisa seperti ilmu kita? Para
pewaris tidaklah seperti para nabi, tetapi mereka mempunyai pengetahuan seperti
para nabi.
Bisakah engkau memberikan jawaban: “Ya Rasulullah, bagaimana
orang-orang ini bisa menjadi pewaris dari para nabi?”
Rasulullah Saw. memanggil salah seorang waliyullah, dan dia menghadap ke hadirat Rasulullah Saw. Beliau Saw. memanggil melalui jiwanya, melalui arwahnya, karena Allah Swt.
Berfirman: “Alastu birabbikum. Qalu bala.”
Maka Rasulullah Saw. mampu mendatangkan setiap ruh yang beliau inginkan baik dari masa lalu maupun masa depan. Allah Swt. mengkaruniakan kekuatan itu pada Rasulullah Saw. Beliau membawa seorang dari mereka yang berasal dari masa depan, setelah masa
Rasulullah Saw. Dan beliau berkata: “Nah inilah dia.” Baca juga PLATFORM PERIKLANAN ZHAKKAS
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?