POLITIK DAN ETIKA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS ISLAM
Berbeda dengan teori serta filsafat politik yang di percayai oleh tokoh-tokoh barat dan timur.
Islam dan barat memiliki perbedaan yang signifikan dalam memandang keterkaitan politik dengan etika. Islam menghubungkan politik dengan moral (etika). Sementara Barat tidak mengkaitkannya dengan moral (etika). Dan oleh sebab itu menariknya politik dengan moral, maka politik mendapatkan posisi yang penting dan istimewa dalam perspektif historis Islam pasca-kenabian.
Islam dan barat memiliki perbedaan yang signifikan dalam memandang keterkaitan politik dengan etika. Islam menghubungkan politik dengan moral (etika). Sementara Barat tidak mengkaitkannya dengan moral (etika). Dan oleh sebab itu menariknya politik dengan moral, maka politik mendapatkan posisi yang penting dan istimewa dalam perspektif historis Islam pasca-kenabian.
Kita saksikan kehidupan Imam Ali as. Ia selalu meperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, akhlak, syariat dan agama dan tidak sudi untuk melakukan penipuan, bohong dan pengkhianatan walaupun dalam kondisi yang serba sulit. Dalam salah satu ucapannya :
âDemi Allah! Jika aku di tawari tujuh langit dengan apa yang ada di isinya dan aku disuruh untuk bermaksiat kepada Allah, maka aku tidak akan menerimanyaâ.
Selanjutnya menurut Al-Ghazali, politik (as-siasah) adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan bantuan terencana serta menyediakan petunjuk dan bimbingan agar mereka memperoleh jalan yang lurus, juga menyelamatkan mereka di dunia dan di akhirat.
Politik sebagai strategi merupakan bagian dari ilmu alat yang sangat penting dan mulia dalam pandangan Al-Ghazali. Perlu dilihat dan penting menguasainya, disetujui menguasai ilmu-pengetahuan yang bisa diterjemahkan dan praktis lainnya.
Kegelisahan Imam al-Ghazali terhadap penyimpangan penguasa Buwyhids waktu itu, menyimpulkan dalam pikirannya, bahwa krisis penguasa sebenarnya berakar dari krisis ulama. Dalam Kitab Ihya Ulumuddin, beliau berpesan:
"Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya".
Wali Allah Ibnu Al Farabi berpendapat : Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk yaitu :
- Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah) : negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf; penduduknya merasakan kebahagiaan.
- Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah) : negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
- Negara Orang-orang Fasik : negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
- Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah) : pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
- Negara Sesat (Al-Madinah Ad-dallah) : negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
âDulu orang melihat man qola (apa yang dibicarakan). Undzur ma qala wala tandzur man qola. Lihat apa yang dikatakan jangan melihat siapa yang mengatakan. Sekarang itu nggak laku. Sekarang lihat orangnya dulu". Baca juga etentitas-adalah-satu-disembah
Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?
Comments
Post a Comment
SILAHKAN BERKOMENTAR SESUAI DENGAN TOPIK ISI ARTIKEL YA .......