ADA KETERBATASAN AKAL MEMASUKI MISTERI KETUHANAN MENURUT MAULANA JALALUDDIN RUMI

Tujuan lain yang tak kalah penting dari jalan cinta ialah mengenal jati diri atau diri kita yang sebenarnya. Agar bisa merasakan keistimewaan cinta dalam perspektif Rumi, tentu perlu dikedepankan beberapa point penting dalam gagasan cintanya.

Rumi menilai akal melalui dua perspektif, dari satu sisi akal merupakan kapasitas yang memiliki tugas yang menakjubkan. Namun dari sisi lain, pada level yang lebih tinggi untuk mendekat kepada Tuhan, akal memiliki kelemahan tersendiri. Pada level pertama, akal adalah sebuah anugerah yang mampu mebedakan manusia dari binatang. Manusia dapat mengendalikan dorongan-dorongan rendah hawa nafsu dengan menggunakan akalnya dan menjadi seorang makhluk yang unggul dengan mengekang hasrat-hasrat liar jasmaninya. 

Bagi Rumi, akal juga merupakan sebuah cahaya sakral yang mengalir dalam hati, sehingga kebenaran dan kepalsuan dapat dibedakan melalui serpihan lenteranya.

Namun pada level yang lebih tinggi, akal tidak mampu membawa kita memasuki misteri ketuhanan, memasuki gerbang cinta Tuhan. 

Dalam perspektif Rumi, keterbatasan akal terungkap secara simbolis melalui; 

_kisah ahli bahasa dan tukang perahu 

seorang ahli tata bahasa

pergi berlayar dengan naik kapal dan

bertanya kepada nakhoda kapal,

_pernahkah engkau belajar nahw, tata

bahasa? nakhoda kapal menjawab

dia tidak pernah belajar tata bahasa,

sang nahwi berkata kepadanya,

_Oh! Betapa kasihannya dirimu? Separuh

hidup yang engkau lalui menjadi sia sia. 

Sang nakhoda hanya diam.

Namun tiba-tiba, badai

datang menghantam kapal hingga

berada dalam keadaan sangat kritis.

Sang nakhoda bertanya, 

_apakah engkau bisa berenang? ahli bahasa

menjawab ia tidak pernah mau

belajar berenang. Sang nakhoda

berkata,

_Oh nahwi! Betapa

malangnya nasibmu?! Seluruh

hidupmu telah sia-sia, karena kapal

sdang tenggelam dalam pusaran

gelombang dahsyat ini. (Can 2005, 181)

Dalam kisah ini Rumi menggambarkan bahwa betapa orang yang paling terpelajar di suatu bidang, bisa menjadi bodoh dalam bidang yang tidak ia pelajari. Ahli tata bahasa misalnya ia sebagai ahli ahli ilmu formal, sedangkan sang nakhoda adalah para sufi. Jadi, sepintar apapun akal, ia hanya bisa menangkap sesuai pengalaman masing-masing. Rumi ingin mengatakan bahwa pengalaman langsung dalam kehidupan lebih penting daripada sekedar ilmu pengetahuan. Orang yang berpengalaman akan lebih mudah menghadapi kehidupan dan mala petaka dibanding orang tak berpengalaman langsung, sekalipun ilmu pengetahuan yang ia miliki banyak. (Baqir 2015, 3-4).

Akal hanya mampu mengantarkan manusia menuju gerbang ketuhanan (wilayah ialhiyah). Bagi Rumi, sehebat apapun seseorang dalam menguasai ilmu agama secara akliah tidak akan menyingkap jendela ke dunia gaib, sedangkan untuk mencapai puncak kesatuan ialah dengan mengasah ketajaman intuisi dengan melakukan tazkiyatun nafs dan riyadhah, proses penyucian hati dan olah jiwa, kemudian cinta dan peleburan (pelenyapan diri). (Qadiri 1998, 128)

Menurut Rumi perbincangan mengenai eksitensi Tuhan seluas apapun tidak akan mengubah seseorang menjadi lebih baik, sebelum mengalami pengalaman bersama Tuhan. Karena, akal hanya menuntut bukti-bukti tentang Tuhan, sebab akal menelisik melalui penalaran. Sedangkan hati atau jiwa tidak lagi mencari bukti sebab ia sudah melihat dengan lensa penyaksian. Seseorang yang sudah memiliki penglihatan langsung melalui mata jiwa tidak lagi membutuhkan bukti;

 ―ketika engkau telah duduk bersanding dengan

kekasihmu, engkau akan

mengenyahkan segala perantara,

demikian menurut Rumi. Dalam

kajian sufistik, ada sebuah uangkapan

mengenai fenomena tersebut 

―man syahadahu istaghna 'anit ta'rif”,

barangsiapa yang sudah

menyaksikan, maka ia tidak lagi

membutuhkan definisi.

Perlu digaris bawahi bahwa kritik-kritik Rumi terhadap kapasitas akal, sebagai sesuatu yang terpisah dari cinta, harus tidak dipahami dalam seluruh konteks ajaranajarannya, yang di dalamnya akal memainkan peran utama dan positif. Sebab, ia adalah sesuatu yang niscaya dalam menempuh jalan cinta dan penuntun bagi manusia menuju pintu gerbang pelataran Tuhan, sebagaimana Jibril yang berperan sebagai pendamping Nabi ketika melakukan mi‟raj. Tetapi, untuk mencapai pada tahap akhir perjalanan, hanya dapat bertumpu pada kaki-kaki cinta dan peniadaan diri. Baca Juga : Maulana-jalaluddin-rumi-kekuatan-cinta

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

Comments

📯POPULAR POST

ABDURRAHMAN AL-GHAFIQI DAN BALA TENTARA YANG CINTA SYAHID BAG 3

ALINSANU SIRRI, WA ANA SIRRUHU, WASIRRI SIFATI WASIFATI LAGHOIRIHI

THOSIN AL-ASRAR FI AL-TAUHID, SYAIKH HUSAIN BIN MANSHUR AL-HALLAJ

KATA KATA MUTIARA AL GHOZALI

ALLAH BUKAN NAMA DAN MAKNA

Kirim E-mail Anda Dapatkan Artikel Berlangganan Gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY POST MANTAP ||| postmantap16@gmail.com

🔱LINK TAUTAN ARTIKEL SPONSOR

🔁 FOLLOWERS