KISAH CINTA PLATONIK MAULANA JALALUDDIN RUMI (1)

Perdebatan panjang muncul pasca kemenangan akal atas otoritas teks wahyu yang sebelumnya banyak mendominasi pengetahuan manusia. Akal dengan begitu beringasnya memproklamirkan dirinya sebagai satu-satunya infrastruktur epistemologis yang mampu membimbing manusia pada kebenaran sejati. Kepongahan akal ini ternyata tidak bisa diterima oleh semua kalangan pemikir yang ada pada waktu itu, akhirnya muncullah perlawanan epistemologis yang mengakibatkan munculnya keguncangan episteme yang dialami umat Islam dalam menentukan kebenaran absolut, apakah dengan menggunakan akal atau wahyu.

Dalam sebuah pergulatan antara tesa dengan antitesa selalu akan memunculkan sintesa, pada saat terjadi pergulatan epistemologi ini munculah kalangan ‘irfânîyûn yang menjadi sintesa atas pertarungan akal (burhânî) dan wahyu (bayânî), kemudian memberikan sebuah tawaran epistemologis baru dalam upayanya melihat sebuah kebenaran, yaitu dengan intuisi.

Kemunculan golongan ‘irfânîyûn merupakan salah satu sebab yang mendorong munculnya tradisi tasawuf dalam peta pemikiran umat Islam, pada dasarnya tasawuf adalah sebuah gerakan atas perlawanan nalar yang mendominasi waktu itu, bukan sebuah organisasi spiritual seperti yang berkembang saat ini. Makanya pada awal-awal kemunculan tasawuf banyak memunculkan konsep-konsep metodologis untuk meng-counter atas wacana otoritas wahyu dan akal yang kemudian memunculkan tokoh-tokoh sufi seperti Abu Hamid al-Ghazali, Suhrâwardi, dan Mulla Sadra. Tasawuf selanjutnya lebih berkembang sebagai sebuah gerakan spiritual yang bisa terbilang anti-sosial. Hal ini dapat kita lihat dari beberapa kelompok dan tokoh sufi yang menjauhkan dirinya dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. 

Mereka lebih senang dengan mematangkan kualitas spiritualnya masing-masing tanpa mau tahu terhadap situasi yang berkembang disekitarnya. Pada perilaku spiritualnya, para sufi ini mencoba melatih (riyâdah) kematangan spiritualnya dengan salah satunya menempatkan dirinya sebagai seorang kekasih yang merindukan pasangan cintanya, sehingga untuk bersatu dengan pasanganya dia sanggup melakukan (maqâmât) apa saja guna dapat berasyik-masyuk dengan yang dicintainya. Kisah Cinta Platonik spiritual yang dilakukan oleh para Sufi ini tersebutlah salah satunya yaitu berdasarkan jalan cinta (mahabbah) sebagai media menuju Tuhannya.

Gibran mengatakan, cinta mampu membangun karakteristik seseorang. Sebab, dalam praktik kehidupan tidak ada penemuan diri, tidak ada kesadaran diri dan tidak ada pengetahuan diri sampai sebuah individu setuju untuk membagi kehidupanya dengan “diri/being” yang lain, sehingga dengan cinta manusia mampu memantapkan kontak antarsubjektif yang autentik.

1 Kedahsyatan cinta mampu merubah seseorang menjadi melankolis layaknya Laila dan Majnun, akan tetapi karena cinta pula seseorang bisa sekejam bangsawan Troy yang meluluhlantahkan peradaban. Dengan dasar cinta pulalah Jalâl al-Dîn Rûmî kemudian banyak membangun pondasi epistemologi sufinya yang banyak tertuang dalam bentuk syair-syair mistisnya. Dengan syair, Jalâl al-Dîn Rûmî banyak menggambarkan sebuah ziarah spiritual yang ingin dilaluinya guna menemukan titik puncak ekstase penyatuan antara dirinya dengan yang dicintainya, yaitu Allah SWT. Dalam makalah ini penulis akan coba melakukan sedikit eksplorasi untuk mengetahui sejauh mana cinta mampu menghantarkan seorang Jalâl al-Dîn Rûmî pada Tuhannya.

Sketsa Biografis Jalâl al-Dîn Rûmî Jalâl al-Dîn Rûmî (selanjutnya disebut Rûmî) nama lengkapnya Mawlânâ Jalâl al-Dîn Muh}ammad. Ia dilahirkan pada tanggal 6 Rabiul Awwal 604 Hijrîyah, bertepatan dengan tanggal 30 September 1207 di Balkhi sebuah kota yang kini terletak di Afghanistan bagian utara. Balkhi pada saat itu adalah sebuah kota yang menjadi pusat kajian, praktik, dan tempat di mana kecintaan pada mistisisme Islam tumbuhdengan pesat.

2 Rûmî berkembang di pusat kebudayaan Persia, Balkh yang merupakan produk kebudayaan Islam Persia yang pada abad ke tujuhsampai tiga belas mendominasi seluruh bagian Timur wilayah Islam

3. Karena kondisi-sosial politik yang tidak memungkinkan kemudian Rûmî beserta keluarganya pindah dari Balkh menuju Laranda (Karaman, saat ini Turki), di sini pulalah akhirnya dia menemukan jodohnya dan menikah dengan seorang gadis muda yang berasal dari Samarkand bernama Jauhar Khatun. Tidak lama kemudian Rûmî sekeluarga pindah ke Konya ibukota kesultanan Rum Saljuq karena ayahnya mendapat undangan dari Sultan Rum Saljuq yaitu „Alâ al-Dîn Kayqubad untuk menjadi pengajar di kota ini. Dari tempat inilah akhirnya perkembangan pemikiran tasawuf Rûmî dimulai.

Pada usia yang masih relatif muda Rûmî sudah banyak mempelajari keilmuan Islam seperti Nahwu, Ilmu persajakan, AlQur‟ân, H{adîth, Ushul Fikih, Tafsir, Sejarah, Filsafat, Teologi, Logika, Matematika dan Astronomi. Sehingga pada saat ayahnya meninggal pada tahun 628 H/1231 M, dia telah menguasai semua bidang keilmuan tersebut.

Sepeninggal ayahnya, pada usia 24 tahun kemudian Rûmî menggantikan posisi Ayahnya sebagai tokoh spiritual sekaligus ahli hukum Islam di Rum Saljuq. Pada saat itu dia banyak dikagumi oleh para kalangan ahli hukum Islam atas kepiawaiannya sebagai ahli hukum, meskipun demikian ia tetap menjalani kehidupan rohani sebagai seorang sufi.

Rûmî banyak mengalami kegoncangan secara psikis ketika kehilangan orang-orang yang dianggap memancarkan sinar Tuhan darinya. Dari rasa kehilangan dan perenungannya inilah akhirnya banyak memunculkan buah karya dari tangan Rûmî, seperti:

1. Diwan-i Shamsi Tabriz (Sajak-sajak Pujian kepada Syamsi Tabriz)

2. Mathnawî-i Ma`nawi (Prosa Berirama tentang Makna-makna)

3. Rubâ‘iyat (Kumpulan sajak-sajak empat baris)

4. Fîhi mâ Fîhi (Di Dalam Ada Seperti Yang Di Dalam)

5. Makâtib (Kumpulan surat-surat Rûmî kepada para sahabatnya)

6. Majâlis-i Sab`ah (Himpunan khotbah Rûmî di Masjid-masjid dan halaqah keagamaan)

Rûmî merupakan penyair Sufi yang cukup produktif, dalam catatan Arberry masa kepenyairan sufi hanya terbilang 27 tahun, selama itu dia telah banyak menelorkan karya-karya yang cukup spektakuler seperti tersebut di atas. Baca Juga : Guru-tasawuf-cinta-platonik-maulana

Jalâl al-Dîn Rûmî wafat pada 5 Jumadil Akhir 672 H, bertepatan dengan tanggal 16 Desember 1273 M, dalam keadaan bahagia dan damai dikelilingi oleh para murid spiritualnya, yang juga termasuk keluarga dekatnya. Sadr al-Dîn Qunâwî, tokoh besar sufi lainnya di Konya pada saat itu memanjatkan doa kematian sebelum jenazah sufi penyair terbesar Persia ini di semayamkan di Konya. Di kalangan para sufi, makamnya merupakan salah satu dari beberapa makam penting yang diziarahi, yakni semacam Ka'bah kedua serta menjadi pusat spiritual di Turki.

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

Comments

📯POPULAR POST

ABDURRAHMAN AL-GHAFIQI DAN BALA TENTARA YANG CINTA SYAHID BAG 3

ALINSANU SIRRI, WA ANA SIRRUHU, WASIRRI SIFATI WASIFATI LAGHOIRIHI

THOSIN AL-ASRAR FI AL-TAUHID, SYAIKH HUSAIN BIN MANSHUR AL-HALLAJ

KATA KATA MUTIARA AL GHOZALI

ALLAH BUKAN NAMA DAN MAKNA

Kirim E-mail Anda Dapatkan Artikel Berlangganan Gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY POST MANTAP ||| postmantap16@gmail.com

🔱LINK TAUTAN ARTIKEL SPONSOR

🔁 FOLLOWERS