TASAWUF CINTA JALALUDDIN RUMI (3)

Karena luasnya kajian tasawuf, maka dalam kesempatan ini penulis ingin melakukan penelaahan pemikiran Rûmî dengan melakukan beberapa pemetaan yang selama ini sangat kental dalam tradisi filsafat Ilmu. Dalam ranah filsafat Ilmu, untuk melihat sebuah bangunan keilmuan (body of knowledge) harus memenuhi tiga prasarat utama yaitu sisi ontologis, epistemologis dan aksiologis. Tiga pemilahan ini bukan bermaksud untuk melakukan demarkasi ataupun pengotakan alur pemikiran, lebih lanjut ketiga pilar keilmuan ini akan mempermudah kita dalam melihat bangunan keilmuan sufistik yang coba digagas oleh Jalâl al-Dîn Rûmî.

Dalam tradisi perjalanan sufi dikenal istilah mah}abbah (cinta) yang berarti mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi. Pada titik ekstremnya cinta ini bisa timbul karena telah tahu betul akan keberadaan Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi Tuhan, akan tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai (wahdat al-sifât).11 Cinta seperti ini memiliki dasar dalam Al-Qur‟ân sebagaimana yang tertera dalam QS. al-Mâidah: 54 dan QS. Âli-Imrân: 30:  “Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya.”

“Katakanlah “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Sebelum tampil sebagai ahli tasawuf dan sastrawan terkemuka, Rûmî adalah seorang guru agama yang memiliki banyak murid dan pengikut. Dalam usia 36 tahun dia sudah bosan mengajar ilmu-ilmu formal. Dia insyaf bahwa pengetahuan formal tidak mudah mengubah jiwa murid-muridnya. Menurut Rûmî, perubahan bisa terjadi apabila seseorang mendapat pencerahan (enlightment). Untuk mendapat pencerahan, seseorang harus bersedia menempuh jalan cinta (‘ishq). Tiada salahnya aku berbicara tentang cinta dan menerangkannya, tetapi malu melingkupiku manakala aku sampai pada cinta itu sendiri (Mathnawî, I, 112)

Begitulah, baru sesudah mempelajari tasawuf secara mendalam dan mengamalkannya dalam kehidupan, Rûmî sadar bahwa dalam diri manusia terdapat tenaga tersembunyi, yang jika digunakan dengan cara yang benar dapat membuat sesorang bahagia, bebas dari kungkungan dunia dan memiliki pengetahuan luas tentang Tuhan dan manusia.

Tenaga tersembunyi itu disebut ‘ishq-i ilahi (Cinta Ilahi). Cinta benar-benar menjadi sentra pokok dalam khazanah intelektual Rûmî, dari cinta dia banyak menyebutkan tentang berbagai hal seperti nilai-nilai ke-Tuhanan, perwujudan Makrokosmos dan Mikrokosmos, Hubungan esensi dan eksistensi, Agama dan masih banyak lagi. Beberapa hal ini disampaikan Rûmî dalam syair-syairnya:

Tentang Ketuhanan :

Yang lain menyebut Engkau Cinta, tapi aku memanggil dikau Sultan Cinta, Oh Dikau yang berada di seberang konsep ini dan itu, jangan pergi tanpa diriku (Dîwân, 23303)

Tentang Perwujudan Makrokosmos :

Makhluk-makhluk bergerak karena cinta, cinta oleh keabadian tanpa permulaan: angin menari-nari karena semesta, pohon-pohon disebabkan oleh angin (Dîwân, 5001)

Tentang Perwujudan Mikrokosmos :

Tuhan meletakan hasrat di dalam laki-laki dan perempuan, sehingga mereka menemukan hidup dalam penyatuan mereka. Dia menempatkan hasrat pada masing-masing dan kesatuan mereka membuahkan keturunan (Mathnawî, III, 14-16)

Tentang Esensi dan Eksistensi :

Cinta adalah inti, dunia adalah kulit: Cinta adalah manisan, dunia adalah panci (Dîwân, 22225)

Tentang agama:

Agamaku adalah hidup melalui Cinta-adalah malu bagiku, hidup melaluijasad dan roh ini (Mathnawî, VI, 4059)

 Seperti halnya sufi yang lain, khususnya al-Nuri dan al-Hallaj, Rûmî meyakini bahwa Cinta (‘ishq) merupakan rahasia ketuhanan (sirr Allâh) atau rahasia penciptaan (sirr al-khalq). Karena itu Cinta juga merupakan rahasia makhluk-makhluk-Nya, yang dalam diri manusia merupakan potensi ruhani yang dapat mengangkatnya naik ke hirarki tertinggi penciptaan. Mereka juga yakin bahwa pengalaman mistik dapat membersihkan penglihatan kalbu, sehingga kalbu dapat menyaksikan bahwa Wujud hakiki adalah satu, sedang wujud yang lain itu nisbi. Dalam pengalaman kesufian, yang nisbi ini akan sirna tercampak oleh cinta dan kefanaan.

Dalam ranah filsafat Yunani kita mengenal Plato yang dengan jelas memisahkan secara epistemologis dua bentuk dunia: pertama, dunia nyata yang berisi ide-ide abadi sempurna dan tidak berubah, yang hanya diketahui oleh intelek, kedua, dunia ilusi atau kurang nyata, yaitu wilayah objek-objek konkret, individual serta berubah-ubah, yang diketahui oleh indera-indera kita dan yang ada pada wilayah ini hanya sebagai salinan atau tiruan yang tidak sempurna dari ide-ide sempurna.

Pemikiran Rûmî—kalau harus disepadankan dengan Plato—hampir sebanding dengan pemikiranya mengenai pemilahan dua bentuk hakikat, pertama, bentuk (surah) adalah penampakan luar, kedua, makna adalah hakikat yang tak terlihat. Makna, hakikatnya hanya Tuhan yang mengetahui. Dan, karena Tuhan jauh dari segala bentuk kejamakan, makna segala sesuatu berarti Tuhan itu sendiri. Dunia yang tampak ini adalah bentuk semata, sekumpulan bentuk-bentuk. Masingmasing bentuk memiliki maknanya sendiri-sendiri di dalam Tuhan.

Manusia tidak boleh tertipu oleh bentuk penampakan luar. Ia harus memahami bahwa bentuk tidak pernah memiliki wujudnya sendiri, ia hanyalah penampakan dari makna yang berada di balik penampakan wujud luarnya.

Ketahuilah, bahwa segala yang kasat mata adalah fana, tapi dunia makna tak akan pernah sirna.

Sampai kapankah engkau akan terpikat oleh bentulk bejana?

Tinggalkanlah ia : Pergi, airlah yang harus kamu cari.

Hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkau seorang yang bijak, ambilah mutiara dari dalam kerang! (Mathnawî, II, 1020-1022)

Ketika manusia hidup dalam dunia bentuk ia hanya akan mendapati kepalsuan dan bayang-bayang kebenaran, apa yang dia lakukan dan pahami bentuk merupakan bentuk mimesis dan simulasi 13 dari sebuah realitas yang berada di struktur dalam (deep structure) hakikat kebenaran, pada hasilnya dia hanya akan mendapati sebauah kehidupan dalam ruang dan waktu yang semu, akan tetapi Rûmî tetap memberikan pilihan kepada manusia untuk mampu melakukan pilihan-pilihan (choices) dan kemungkinan-kemungkinan (possibility) untuk dapat menemukan area esensi dalam kehidupannya.

Pemilahan antara bentuk dan makna dalam kategori Rûmî ini tidak bersifat vis a vis akan tetapi lebih bersifat kontra-relasional antara satu dengan yang lainnya. Dalam istilah lain Rûmî menyebutkan bentuk dengan “dunia sini” dan makna sebagai “dunia sana”. Keduanya memiliki hubungan relasional yang cukup kuat, dan keduanya juga memiliki arti keberadaanya masing-masing. “Dunia sana” tidak dapat diraih tanpa melewati “dunia sini”. Rûmî mengakui bahwa apa yang ada pada “dunia sini” memiliki fungsi dan kegunaan yang sesuai.

Pengolahan fungsi dan kegunaan untuk dirinya sendiri adalah untuk memperhatikan diri sendiri seperti dengan “daun-daun pepohonan” 13 Mimesis atau mimetic adalah sebuah representasi dari sebuah realita, dalam bahasa Plato “dunia ini adalah bayangan atau tiruan forma”. Mimesis ini kemudian dikembangkan oleh Gadamer dalam Hermeneutikanya sebagai sebuah representasi atas penalaran sebuah makna riil dari teks tertentu, yang beroperasi pada modus keberadaanya (mode of being), jadi Mimesis ini dalam contoh riilnya seperti hasil fotografi yang menggambarkan realitas nyata dari objek yang direalisasikan dalam selembar foto. 

Sedangkan simulasi adalah pola yang merajalela pada tahap sekarang yang dikontrol oleh kode. Sebagai sebuah model produksi penampakan dalam masyarakat konsumer, menurut Baudrilard (dalam bentuk ekstrem) simulasi tidak lagi berkaitan dengan duplikasi ada (being) atau substansi dari sesuatu yang diduplikasi, akan tetapi dia telah mampu menciptakan makna sendiri (Hypereality). Lihat Yasraf Amir Piliang, Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya Makna atau “bagian belakang cermin” sehingga mengabaikan hal-hal prinsip.

Bagi Rûmî, bentuk dan makna bagaikan kulit dan biji suatu benih, apabila benih tidak dikupas dari kulitnya ketika ditanam maka dia tidak akan pernah tumbuh. Rûmî sangat mementingkan pemeliharaan bentuk, sebab tanpa itu konsep yang mendasarinya tidak akan pernah tercapai. Bahwa hanya melalui bentuklah konsep hakikat suatu hal mampu dipahami oleh “mata pengetahuan” Nabi dan orang-orang suci. Sebuah indera yang sebenarnya dimiliki secara halus, bersemayam di dalam setiap orang. Kemampuan indera tersebut kemungkinan besar dapat disempurnakan melalui pelatihan ketajamannya.

Akan tetapi banyak diingatkan oleh Rûmî, kebanyakan manusia lebih terpukau oleh bentuk daripada isinya seperti halnya sebuah katakata dalam puisi. Kata-kata tidak lain hanyalah “bayangan” dari kenyataan. Kata-kata merupakan cabang dari kenyataan. Apabila “bayangan” saja dapat menawan hati, betapa mempesonanya kekuatan kenyataan yang ada di balik bayangan jika kita mampu mengetahuinya.

Dari sinilah perjalanan epistemologis dimulai, manusia harus mampu memaknai fungsi dan konsekuensi dari bentuk (sûrah) atau eksistensi, bukan malah menafikannya secara hirarkis. Sebab bentuk mempunyai peran dalam dunianya sendiri yang bersifat korelasional dengan dunia esensi. Peran yang ada pada dunia eksistensilah yang nantinya mampu menghantarkan manusia menuju dunia keabadian yaitu esensi. 

Sederhananya, manusia membutuhkan sebuah infrastruktur sebagai jalan ataupun alat untuk mengenal esensi. Dalam terminologi Islam kita mengenal perdebatan yang cukup serius antara sharî‘ah dan ma‘rifah, dalam kacamata Rûmî, seseorang harus mampu melampaui sharî‘ah baru kemudian dia bisa masuk dalam dunia ma‘rifah, tanpa itu semua perjalanan spiritual yang dilakukannya hanyalah absurditas belaka.

Tuhan adalah sumber ilmu, baik ilmu tentang alam, manusia dan Tuhan sendiri, yang dilimpahkannya melalui wahyu: Al-Qur‟ân dan Hadîth. Di samping itu Tuhan juga melimpahkan ilmu-Nya melalui ilham, “penyingkapan” biasanya hanya dialami oleh para sufi, yang sebenarnya dengannya mereka dapat melihat hakikat segala sesuatu. Baca Juga : Maulana-jalaluddin-rumi-tasawuf-cinta

Untuk memperoleh penyingkapan manusia harus mampu melakukan usaha-usaha (riyâdah) guna membersihkan kediriannya untuk menerima ketersingkapan. Hal ini sudah diantisipasi sebelumnya oleh Rûmî, dengan dasar cinta manusia akan mampu menatap persoalan apapun dengan lapang dada dan dengan jalan yang lebih afirmatif. Kemudian hal ini disokong lagi dengan mendorong manusia agar mampu melewati “bentuk-bentuk” guna menemukan hakikat makna yang sesungguhnya. Akan tetapi yang menonjol dalam tradisi sufi Rûmî adalah, dia tidak meninggalkan shari'ah untuk bisa menemukan hakikat. Sebab sharîah mempunyai perannya sendiri sebagai penghantar manusia untuk dapat menemukan hakikat.

Untuk menapaki jalan sufi dan mengharap bertemu dengan Tuhan, berarti harus mentaati semua perintah dan larangan Tuhan. Secara lebih khusus menempuh jalan sufi (tarîqah) berarti mengikuti keteladanan Nabi yang kita tahu tidak pernah meninggalkan sharî‘ah untuk melakukan pertemuan dengan Tuhannya.

Related Posts



Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

Comments

📯POPULAR POST

ABDURRAHMAN AL-GHAFIQI DAN BALA TENTARA YANG CINTA SYAHID BAG 3

ALINSANU SIRRI, WA ANA SIRRUHU, WASIRRI SIFATI WASIFATI LAGHOIRIHI

THOSIN AL-ASRAR FI AL-TAUHID, SYAIKH HUSAIN BIN MANSHUR AL-HALLAJ

KATA KATA MUTIARA AL GHOZALI

ALLAH BUKAN NAMA DAN MAKNA

Kirim E-mail Anda Dapatkan Artikel Berlangganan Gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY POST MANTAP ||| postmantap16@gmail.com

🔱LINK TAUTAN ARTIKEL SPONSOR

🔁 FOLLOWERS